Evaluasi Pendidikan
Pengarang
:
Drs. H. Daryanto
Penulis
:
Kelompok
III
1.
Febrianti
Nurma W. (105.600)
2.
Dewi
Komariah (105.602)
3.
Untania
Windy S. (105.696)
4.
Rahmat
Wahyudi I. (105.773)
Program Studi
Matematika 2010 D
SEKOLAH
TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PERSATUAN
GURU REPUBLIK INDONESIA
JOMBANG
2011
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT yang
telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan makalah ini
dengan baik dan tepat waktu.
Dalam
menyusun makalah ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Orang tua yang memberikan dorongan
mental, dan materi sehingga dapat membangkitkan semangat kami untuk terus maju.
2. Bapak H. M. NUR KHOL1S, S.Pd selaku dosen pembimbing mata kuliah Bahasa Indonesia yang telah
memberikan petunjuk dalam pembuatan makalah ini.
3. Teman-teman yang telah
mendukung dalam pembuatan makalah ini.
Makalah ini diusahakan semaksimal mungkin dalam penyusunannya baik
mengenai materi maupun teknik serta bahasannya. Namun penulis menyadari bahwa
tiada kesempurnaan tanpa adanya kritikan dan saran yang konstruktif. Maka dari itu kritik dan
saran penulis harapkan demi penyusunan makalah selanjutnya.
Jombang,
29 Mei 2011
Penulis
DAFTAR
ISI
HALAMAN
JUDUL................................................................................................ i
KATA
PENGANTAR.............................................................................................. ii
DAFTAR
ISI............................................................................................................. iii
BAB I PENGERTIAN,TUJUAN,DAN
FUNGSI EVALUASI PENDIDIKAN
A.
Pengertian
Evaluasi Pendidikan................................................... 1
B.
Tujuan
Evaluasi Pendidikan......................................................... 3
C. Fungsi Evaluasi Pendidikan......................................................... 5
BAB II PRINSIP-PRINSIP DAN
TEKNIK EVALUASI
A.
Prinsip-prinsip
Evaluasi................................................................ 7
B. Teknik Evaluasi............................................................................ 8
BAB III KLASIFIKASI TUJUAN INSTUKSIONAL
A.
Jenis-jenis
Tujuan Pendidikan...................................................... 18
B.
Tujuan
Instruksional..................................................................... 19
C.
Merumuskan
Tujuan Instruksional............................................... 20
D.
Data-data
Operasional................................................................. 20
E. Kondisi Demonstrasi.................................................................... 23
BAB IV BERBAGAI TEKNIK EVALUASI
A.
Measurement
Model.................................................................... 25
B.
Congruence
Model....................................................................... 27
C.
Educational
System Evaluation Model........................................ 29
D. Illuminative Model....................................................................... 33
BAB V PENGUKURAN RANAH KOGNITIF,AFEKTIF,
DAN PSIKOMOTOR DALAM PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
A.
Pengukuran
Ranah Kognitif........................................................ 37
B.
Pengukuran
Ranah Afektif.......................................................... 41
C. Pengukuran Ranah Psikomotor.................................................... 42
BAB VI PROSEDUR PELAKSANAAN EVALUASI
A.
Langkah
Perencanaan.................................................................. 46
B.
Langkah
Pengumpulan Data........................................................ 48
C.
Langkah
Penelitian Data.............................................................. 49
D.
Langkah
Pengolahan Data........................................................... 51
E.
Langkah
Penafsiran Data............................................................. 52
F.
Langkah
Meningkatkan Daya Serap Peserta Didik..................... 53
G. Laporan Hasil Penelitian.............................................................. 54
BAB VII ANALISIS BUTIR-BUTIR INSTRUMEN EVALUASI
A.
Menilai
Tes yang Dibuat Sendiri................................................. 57
B. Analisis Butir-Butir Soal.............................................................. 58
BAB VIII INTERPRETASI NILAI EVALUASI
A.
Merencanakan
Evaluasi................................................................ 63
B.
Menentukan
Entering Behavior................................................... 65
C.
Beberapa
Skala Penilaian............................................................. 68
D.
Distribusi
Nilai............................................................................. 70
E. Standar Nilai................................................................................ 71
DAFTAR
PUSTAKA............................................................................................... 75
BAB
I
PENGERTIAN,TUJUAN,DAN
FUNGSI EVALUASI PENDIDIKAN
A.
Pengertian Evaluasi Pendidikan
1.
Definisi Evaluasi
(1) Bloom et. al (1971) :
“Evaluation,as we see
it,is the systematic collection of evidence to determine whether in fact
certain changes are taking place in the learners as well as to determine the
amount or degree of change in individual students.”
Artinya: Evaluasi, sebagaimana
kita lihat,dalah pengumpulan kenyataan secara sistematis untuk menetapkan apakah dalam kenyataannya, terjadi
perubahan dalam diri siswa dan menetapkan sejauh mana tingkat perubahan dalam
pribadi siswa.
(2) Stufflebeam et. al (1971)
“Evaluation is the
process of delineating,obtaining,and providing useful information for judging
decision alternatives.”
Artinya: Evaluasi
merupakan proses menggambarkan,memperoleh,dan menyajikan informasi yang berguna
untuk menilai alternatif keputusan.
(3) Ada balasan lain :
“The
determination of the congruence between performance and objectives.”
Artinya:
Penentuan kesesuaian antara penampilan (unjuk kerja) dan tujuan.
(4) Ada balasan lain lagi :
“Professional judgment
or a process that allows one to make a judgment about the desirability or value
of something.”
Artinya: Pertimbangan
profesional atau suatu proses yang memungkinkan seseorang membuat pertimbangan tentang
daya tarik atau nilai sesuatu.
(5) Cronbach (1982)
Di dalam bukunya Designing Evaluator of Educational and
Social Program telah memberikan uaraian mengenai prinsip-prinsip dasar
evaluasi sebagai berikut :
1. Evaluasi program pendidikan merupakan
kegiatan yang dapat membantu pemerintah dalam mencapai tujuannya.
2. Evaluasi adalah suatu seni.
3. Tugas evaluator hanyalah membantu
memberikan alternatif.
4. Penelitian evalusi adalah tanggung jawab
sebuah tim,bukan per orangan.
5. Evaluator tidak terikat pada suatu
sekolah.
6. Evalusi merupakan suatu proses terus
menerus sehingga di dalam proses kegiatannya
dimungkinkan untuk merevisi apabila dirasakan adanya sesuatu kesalahan.
7. Dalam kegiatan yang terus
menerus,evaluator menjadi mantap memasuki dan menyelami permasalahan.
8. Dalam program sosial perlakuan-perlakuan
sistem tidak dapat bersifat “pasti” seperti perlakuan di laboratorium.
9. Evaluator menggunakan berbagai teknik
dan instrumen sehingga mampu mengungkap bentuk aspek.
10. Istilah “evaluasi formatif” dan
“evaluasi sumatif” merupakan dua istilah yang tepat untuk menjelaskan jenis
evaluasi menurut fungsinya.
11. Gambaran analisis yang menunjuk pada
kumpulan (kesatuan jumlah,rata-rata,dan sebagainya) akan lebih berarti
dibandingkan dengan data tunggal.
12. Kesimpulan evaluasi hendaknya merupakan
deskripsi yang jelas atau menunjukkan hubungan sebab akibat tetapi tidak
memberikan penialaian.
2.
Pengertian evaluasi
Selain
istilah evaluasi seperti yang tercantum dalam definisi diatas,didapati pula
istilah pengukuran dan penilaian.Ketiga istilah tersebut tidak sama artinya
tetapi ada kaitannya.Mengukur,yakni membandingkan sesuatu yang ada dengan
ukuran tertentu.Menilai,yakni menentukan pilihan mana sesuatu yang paling
memenuhi ukuran itulah yang diambil.Suatu penilaian tidak dapat dilakukan
sebelum mengadakan suatu pengukuran.Jadi, mengukur adalah membandingkan sesuatu
dengan satu ukuran yang bersifat kuantitatif.Sedangkan menilai adalah mengambil
keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran baik buruk yang bersifat kualitatif.
Dalam
istilah asing,pengukuran adalah measurement,sedang penilaian adalah evaluation.
B.
Tujuan Evaluasi Pendidikan
Evaluasi
pendidikan adalah kegiatan menilai yang terjadi dalam kegiatan pendidikan. Untuk
membatasi masalah,maka dal;am buku ini hanya akan dibicarakan penilaian di
sekolah. Berikut uraian penjelasan :
a) Input
Yaitu bahan mentah yang
dimasukkan ke dalam transformasi. Dalam dunia sekolah maka yang dimaksud dengan
bahan mentah adalah calon siswa yang baru akan memasuki sekolah.
b) Output
Yaitu bahan jadi yang
dihasilkan oleh transformasi. Yang dimaksud adalah siswa lulusan sekolah yang
bersangkutan.
c) Transformasi
Yaitu
mesin yang bertugas mengubah bahan mentah menjadi bahan jadi. Yang dimaksud
adalah sekolah itu sendiri.Unsur-unsur transformasi sekolah tersebut antara lain:
-
Guru
dan personal lainnya.
-
Bahan
pelajaran.
-
Metode
mengajar dan sistem evaluasi.
-
Sarana
penunjang.
-
Sistem
administrasi.
d) Umpan balik (feed back)
Yaitu segala informasi
baik yang menyangkut output maupun transformasi dan sangat diperlukan sekali
untuk memperbaiki input maupun transformasi. Lulusan yang kurang bermutu atau
yang belum memenuhi harapan, akan menggugah semua pihak untuk mengambil
tindakan yang berhubungan dengan penyebab kurang bermutunya lulusan.
Penyebab-penyebab
tersebut antara lain:
-
Input
yang kurang baik kualitasnya.
-
Guru
dan personal yang kurang baik.
-
Materi
yang tidak atau kurang cocok.
-
Metode
mengajar dan sistem evaluasi yang kurang memadai.
-
Kurangnya
sarana penunjang.
-
Sistem
administrasi yang kurang tepat.
Oleh
karena itu evaluasi di sekolah meliputi banyak segi: calon siswa, lulusan dan
proses pendidikan secara menyeluruh.Berikut manfaat evaluasi pendidikan bagi
siswa,guru dan sekolah.
1. Manfaatnya bagi siswa
-
Siswa
dapat mengetahui sejauh mana telah berhasil mengikuti pelajaran yang diberikan
oleh guru.
-
Jika
siswa memperoleh hasil yang memuaskan maka siswa akan mempunyai motivasi yang
cukup besar untuk belajar lebih giat.
-
Jika
siswa tidak puas dengan hasil yang diperoleh maka ia harus belajar lebih giat.
2. Manfaatnya bagi guru
-
Dengan
hasil penilaian yang diperoleh guru akan dapat mengetahui siswa-siswa mana yang
sudah berhak melanjutkan pelajarannya karena sudah berhasil menguasai bahan, maupun
mengetahui siswa-siswa yang belum berhasil menguasai bahan.
-
Guru
akan mengetahui apakah materi yang diajarkan sudah tepat bagi siswa.
-
Guru
akan mengetahui apakah metode yang digunakan sudah tepat atau belu.
3. Manfaatnya bagi sekolah
-
Akan
dapat diketahui apakah kondisi belajar yang diciptakan oleh sekolah sudah
sesuai dengan harapan atau belum.
-
Dapat
digunakan sebagai pedoman bagi sekolah,yang dilakukan oleh sekolah sudah
memenuhi standar atau belum.
Tujuan utama melakukan evaluasi dalam
proses belajar mengajar adalah untuk mendapatkan informasi yang akurat mengenai
tingkat pencapaian tujuan intruksional oleh siswa sehingga dapat diupayakan
tindak lanjutnya. Untuk masing-masing tindak lanjut yang dikehendaki ini
diadakan tes, yang diberi nama:
1. Tes penempatan (placement test)
Tes
jenis ini disajikan pada awal tahun pelajaran untuk mengukur kesiapan siswa dan
mengetahui tingkat pengetahuan yang telah dicapai sehubungan dengan pelajaran
yang akan disajikan.
2. Tes formatif (formative test)
Tes
jenis ini disajikan di tengah program pengajaran untuk memantau (memonitor)
kemajuan belajar siswa demi memberikan umpan balik,baik kepada siswa maupun
kepada guru.Tes formatif umumnya mengacu pada kriteria.
3. Tes diagnostik (diagnostic test)
Tes
jenis ini bertujuan mendiagnosis kesulitan belajar siswa untuk mengupayakan
perbaikannya.
4. Tes sumatif (summative test)
Tes
jenis ini biasanya diberikan pada akhir tahun ajaran atau akhir suatu jenjang
pendidikan,meskipun maknanya telah diperluas untuk dipakai pada tes akhir
caturwulan atau semester,dan bahkan pada tes akhir pokok bahasan.
C.
Fungsi Evaluasi Pendidikan
Ditinjau dari berbagai
segi dalam sistem pendidikan, fungsi evaluasi ada beberapa hal:
1. Evaluasi berfungsi selektif
Dengan cara mengadakan
evaluasi guru mempunyai cara untuk mengadakan seleksi terhadap siswanya.
2. Evaluasi berfungsi diagnostik
Apabila alat yang
digunakan dalam evaluasi cukup memenuhi persyaratan,maka dengan melihat
hasilnya,guru akan mengetahui kelemahan siswa.
3. Evaluasi berfungsi sebagai penempatan
Timbulnya sistem ini
adalah adanya pengakuan yang besar terhadap kemampuan individual.
4. Evaluasi berfungsi sebagai pengukuran
keberhasilan.
Fungsi keempat dari
evaluasi ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana suatu program berhasil
diterapkan.
Evaluasi
dalam proses pengembangan sistem pendidikan dimaksudkan untuk:
1. Perbaikan sistem
2. Pertanggungjawaban kepada pemerintah dan
masyarakat
3. Penentuan tindak lanjut hasil
pengembangan
BAB
II
PRINSIP-PRINSIP
DAN TEKNIK EVALUASI
A.
Prinsip-Prinsip Evaluasi
Terdapat
beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam melakukan evaluasi. Prinsip-prinsip
termaksud adalah sebagai berikut:
1. Keterpaduan
Evaluasi
merupakan komponen integral dalam program pengajaran disamping tujuan
instruksional dan materi serta metode pengajaran. Tujuan instruksional, materi
dan metode merupakan tiga kesatuan terpadu yang tidak boleh dipisahkan.
2. Keterlibatan siswa
Prinsip ini berkaitan erat dengan metode
belajar CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) yang menuntut keterlibatan siswa secara
aktif, siswa mutlak. Untuk mengetahui sejauh mana siswa berhasil dalam kegiatan
belajar mengajar yang dijalaninya secara aktif, siswa membutuhkan evaluasi.
3. Koherensi
Dengan
prinsip koherensi dimaksudkan evaluasi harus berkaitan dengan materi pengajaran
yang sudah disajikan dan sesuai dengan ranah kemampuan yang hendak diukur.
4. Pedagogis
Di
samping sebagai alat penilai hasil/pencapaian belajar, evaluasi juga perlu
diterapkan sebagai upaya perbaikan sikap dan tingkah laku ditinjau dari segi
pedagogis. Evaluasi dan hasilnya hendaknya dapat dipakai sebagai alat motivasi
untuk siswa dalam kegiatan belajarnya.
5. Akuntabilitas
Sejauh mana keberhasilan program
pengajaran perlu disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dengan
pendidikan sebagai laporan pertanggungjawaban (accountability). Pihak-pihak
termaksud antara lain orang tua, calon majikan, masyarakat lingkungan pada
umumnya,dan lembaga pendidikan sendiri.
B.
Teknik Evaluasi
Secara
garis besar,teknik evaluasi yang digunakan dapat digolongkan menjadi 2 macam, yaitu:
teknik tes dan teknik non-tes.
1.
Teknik non tes
Ada
beberapa teknik non-tes,yaitu:
a. Skala bertingkat (rating scale)
Skala menggambarkan
suatu nilai yang berbentuk angka terhadap suatu hasil pertimbangan.Seperti
Oppenheim mengatakan: “Rating gives a
numerical value to some kind of judgement”,maka suatu skala disajikan dalam
bentuk angka.Biasanya angka-angka yang digunakan diterangkan pada skala dengan
jarak yang sama.Meletakkannya secara bertingkat dari yang rendah ke yang
tinggi.Dengan demikian maka skala ini dinamakan skala bertingkat.
b. Kuesioner
Kuesioner
(questionaire) juga sering dikenal sebagai angket.Pada dasarnya,kuesioner
adalah sebuah daftar pertanyaan yang harus diisi oleh orang yang akan diukur
(responden).Tentang macam kuesioner,dapat ditinjau dari beberapa segi:
1) Ditinjau dari segi siapa yang
menjawab,maka ada:
a. Kuesioner langsung
Dikatakan langsung jika
kuesioner tersebut dikirimkan dan diisi langsung oleh orang yang akan dimintai
jawaban tentang dirinya.
b. Kuesioner tidak langsung
Kuesioner tidak
langsung adalah kuesioner yang dikirimkan dan diisi oleh bukan orang yang
diminta keterangan.
2) Ditinjau dari segi cara menjawab,maka
dibedakan atas:
a. Kuesioner tertutup
Kuesioner tertutup
adalah kuesioner yang disusun dengan menyediakan pilihan jawaban langkah
sehingga pengisi hanya tinggal memberi tanda pada jawaban yang dipilih.
b. Kuesioner terbuka
Kuesioner terbuka
adalah kuesioner yang disusun sedemikian rupa sehingga para pengisi bebas
mengemukakan pendapatnya.
c. Daftar cocok (check list)
Daftar cocok (check
list) adalah deretan pernyataan(yang biasanya singkat-singakat),dimana
responden yang dievaluasi tinggal membubuhkan tanda cocok (√) di tempat yang
sudah disediakan.
d. Wawancara (interview)
Wawancara (interview)
adalah suatu cara yang digunakan untuk mendapatkan jawaban dari responden
dengan jalan tanya jawab sepihak.Wawancara dapat dilakukan dengan 2 cara,yaitu:
1) Interview bebas,dimana responden
mempunyai kebebasan untuk mengutarakan pendapatnya,tanpa dibatasi oleh
patokan-patokan yang telah dibuat oleh subjek evaluasi.
2) Interview terpimpin,yaitu interview yang
dilakukan oleh subjek evaluasi dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan
yang sudah disusun terlebih dahulu.
e. Pengamatan (observation)
Pengamatan
(observation) adalah suatu yeknik yang dilakukan dengan cara mengadakan
pengamatan secara teliti serta pencatatan secara sistematis.Ada 3 macam
observasi:
1) Observasi partisipan,yaitu observasi
yang dilakukan oleh pengamat,tetapi pengamat memasuki dan mengikuti kegiatan
kelompok yang sedang diamati.
2) Observasi sistematik,yaitu observasi
dimana faktor-faktor yang diamati sudah didaftar secara sistematis dan sudah
diatur menurut kategorinya.
3) Observasi eksperimental terjadi jika
pengamat tidak berpartisipasi dalam kelompok.
f. Riwayat hidup
Riwayat hidup adalah
gambaran tentang keadaan seseorang selama dalam masa kehidupannya.
2.
Teknik tes
Di dalam bukunya yang
berjudul Evaluasi Pendidikan, Drs.Amien
Daien Indrakusuma mengatakan demikian:
“Tes adalah suatu alat atau prosedur
yang sistematis dan objektif untuk memperoleh data-data atau
keterangan-keterangan yang diinginkan tentang sesorang,dengan cara yang boleh
dikatakan tepat dan cepat.”
Selanjutnya, di dalam
bukunya: Teknik-Teknik Evaluasi, Muchtar Bukhori mengatakan:
“Tes ialah suatu percobaan yang diadakan
untuk mengetahui ada atau tidaknya hasil-hasil pelajaran tertentu pada
seseorang murid atau kelompok murid.”
Yang kurang lebih artinya demikian:
Tes adalah serentetan pertanyaan atau
latihan atau alat lain yang digunakan untuk mengukur keterampilan
pengetahuan,intelegensi,kemampuan atau bakat yang dimilki oleh individu atau
kelompok.
Ditinjau
dari segi kegunaan untuk mengukur siswa,maka dibedakan atas 3 macam tes,yaitu:
a. Tes diagnostik
Tes diagnostik adalah tes yang digunakan
untuk mengetahui kelemahan-kelemahan siswa sehingga berdasarkan
kelemahan-kelemahan tersebut dapat dilakukan pemberian perlakuan yang
tepat.Dengan mengingat bahwa sekolah sebagai sebuah transformasi.
b. Tes formatif
Dari arti kata “form” yang merupakan
dasar dari istilah “formatif” maka evaluasi formatif dimaksudkan untuk
mengetahui sejauh mana siswa telah terbentuk setelah mengikuti sesuatu program
tertentu.Dalam kedudukannya seperti ini tes formatif dapat juga dipandang
sebagai tes diagnostik pada akhir pelajaran.Evaluasi formatif mempunyai
manfaat,baik bagi siswa,guru maupun program itu sendiri.
Manfaat
bagi siswa:
- Digunakan untuk mengetahui apakah siswa
sudah menguasai bahan program secara meyeluruh.
- Merupakan penguatan (reinforcement) bagi
siswa.
- Usaha perbaikan.
- Sebagai diagnosis.
Manfaat
bagi guru:
- Mengetahui sejauh mana bahan yang
diajarkan sudah dapat diterima oleh siswa.
- Mengetahui bagian-bagian mana dari bahan
pelajaran yang belum menjadi milik siswa.
- Dapat meramalkan sukses dan tidaknya
seluruh program yang akan diberikan.
Manfaat
bagi program:
Setelah diadakan tes formatif maka
diperoleh hasil.Dari hasil tersebut dapat diketahui:
-
Apakah
program yang telah diberikan merupakan program yang tepat dalam arti sesuai
dengan kecakapan anak.
-
Apakah
program tersebut membutuhkan pengetahuan-pengetahuan prasyrat yang belum
diperhitungkan.
-
Apakah
diperlukan alat,sarana dan prasarana untuk mempertinggi hasil yang akan
dicapai.
-
Apakah
metode,pendekatan dan alat evaluasi yang digunakan sudah tepat.
c.
Tes
sumatif
Evaluasi sumatif atau tes sumatif
dilaksanakan setelah berakhirnya pemberian sekelompok program atau sebuah
program yang lebih besar. Dalam pengalaman di sekolah, tes formatif dapat
disamakan dengan ulangan harian,sedangkan tes sumatif ini dapat disamakan
dengan ulangan umum yang biasanya dilaksanakan pada tiap akhir caturwulan tau
akhir semester.Ada beberapa manfaat tes sumatif,dan 3 diantaranya yang
terpenting adalah:
1. Untuk menentukan nilai
2. Untuk menentukan seseorang anak dapat
atau tidaknya mengikuti kelompok dalam menerima program berikutnya.Dalam
kepentingan seperti ini maka tes sumatif berfungsi sebagai tes prediksi.
3. Untuk mengisi catatan kemajuan siswa
yang akan berguna bagi:
- Orang tua siswa
- Pihak bimbingan dan penyuluhan di sekolah
- Pihak-pihak lain apabila siswa tersebut
akan pindah ke sekolah lain,akan melanjutkan belajar atau akan memasuki
lapangan kerja.
d.
Tes
formatif dan tes sumatif dalam praktek
Dalam praktek pelaksanaannya di sekolah
tes formatif ini merupakan ulangan harian,sedangakan tes sumatif biasa kita
kenal sebagai ulangan umum yang diadakan pada akhir catur wulan atau akhir
semester.
e.
Perbandingan
antara tes diagnostik,tes formatif dan tes sumatif
Untuk memperoleh gambaran mengenai tes
diagnostik,tes formatif dan tes sumatif secara lebih mendalam,berikut ini akan
disajikan perbandingan antara ketiganya,agar dapat diketahui tiap-tiap
persamaan dan perbedaan.Dalam membandingkan,akan ditinjau dari 9 aspek,yaitu:
fungsi,waktu,titik berat atau tekanannya,alat evaluasi,cara memilih tujuan yang
dievaluasi,tingkat kesulitan soal-soal tes, cara menyekor tingkat pencapaian
dan metode menuliskan hasil tes.
1. Ditinaju dari fungsinya
a) Tes diagnostik
-
Menentukan
apakah bahan prasyarat telah dikuasai atau belum.
-
Menentukan
tingakat penguasaan siswa terhadap bahan yang dipelajari.
-
Memisah-misahkan,(mengelompokkan)
siswa berdasarkan kemampuan dalam menerima pelajaran yang akan dipelajari.
-
Menentukan
kesulitan-kesulitan belajar yang dialami untuk menentukan cara yang khusus
untuk mengatasi atau memberikan bimbingan.
b) Tes formatif
Sebagai umpan balik bagi
siswa,guru,maupun program untuk menilai pelaksanaan satu unit program.
c) Tes sumatif
Untuk memberikan tanda kepada siswa
bahwa telah mengikuti suatu program,serta menentukan posisi kemampuan siswa
dibandingkan dengan kawannya dalam kelompok.
2. Ditinjau dari waktu
a) Tes diagnostik
-
Pada
waktu penyaringan calon siswa.
-
Pada
waktu membagi kelas atau permulaan memberikan pelajaran.
-
Selama
pelajaran berlangsung bila guru akan memberikan bantuan kepada siswa.
b) Tes formatif
Selama pelajaran berlangsung untuk
mengetahui kekurangan agar pelajaran dapat berlangsung sebaik-baiknya.
c) Tes sumatif
Pada akhir unit catur wulan,semester
akhir tahun atau akhir pendidikan.
3. Ditinjau dari titik berat penilaian
a) Tes diagnostik
-
Tingkah
laku kognitif,afektif dan psikomotor.
-
Faktor-faktor
fisik,psikologis dan lingkungan.
b) Tes formatif
Menekan pada tingkah
laku kognitif.
c) Tes sumatif
Pada umumnya menekan pada tingkah laku
kognitif,tetapi ada kalanya pada tingkah psikomotor dan kadang-kadang pada
tingkah afektif.Akan tetapi walaupun menekankan pada tingkah laku kognitif,yang
diukur adalah tingkatan yang lebih tinggi (bukan sekedar ingatan atau hafalan
saja).
4. Ditinjau dari segi alat evaluasi
a) Tes diagnostik
-
Tes
prestasi belajar yang sudah distandardisasikan.
-
Tes
diagnostik yang sudah distandardisasikan.
-
Tes
buatan guru.
-
Pengamatan
dan daftar cocok (check list).
b) Tes formatif
Tes prestasi belajar yang tersusun
secara baik.
c) Tes sumatif
Tes ujian akhir.
5. Ditinjau dari cara memilih tujuan yang
dievaluasi
a) Tes diagnostik
-
Memilih
tiap-tiap keterampilan prasyarat.
-
Memilih
tujuan setiap program pelajaran secara berimbang.
-
Memilih
yang berhubungan dengan tingkah laku fisik,mental dan perasaan.
b) Tes formatif
Mengukur semua tujuan
instruksional khusus.
c) Tes sumatif
Mengukur tujuan
instruksional umum.
6. Ditinjau dari tingkat kesulitan tes
a) Tes diagnostik
Mengukur keterampilan dasar,diambil
banyak soal tes yang mudah,yang tingkat kesulitannya (indeks kesukaran) 0,65
atau lebih.
b) Tes formatif
Belum dapat ditentukan.
c) Tes sumatif
Rata-rata mempunyai
indeks kesukaran antara 0,35 sampai 0,70.Ditambah beberapa soal yang sangat
mudah dan beberapa lagi yang sangat sukar.
7. Ditinjau dari segi skoring (cara
menyekor)
a) Tes diagnostik
Menggunakan standar
mutlak dan standar relatif.
b) Tes formatif
Menggunakan standar
mutlak.
c) Tes sumatif
Kebanyakan menggunakan stamdar
relatif,tetapi dapat pula dipakai standar mutlak.
8. Ditinjau dari tingkat pencapaian
a) Tes diagnostik
Berhubungan ada bermacam-macam tes
diagnostik maka tingkat pencapaian yang dituntut juga tidak sama.
b) Tes formatif
Ditinjau dari tujuan,tes formatif
digunakan untuk mengetahui apakah siswa sudah mencapai tujuan instruksional
umum yang diuraikan menjadi tujuan instruksional khusus.
c) Tes sumatif
Sesuai dengan fungsi tes sumatif yaitu
memberikan tanda kepada siswa mereka telah mengikuti suatu program dan untuk
menentukan posisi kemampuan siswa dibandingkan dengan kawan dalam
kelompoknya,maka tidak diperlukan suatu tuntutan harus berapa tingkat
penguasaan yang dicapai.
9. Ditinjau dari cara pencatatan hasil
a) Tes diagnostik
Dicatat dan dilaporkan
dalam bentuk profil.
b) Tes formatif
Prestasi tiap siswa dilaporkan dalam
bentuk catatan berhasil atau gagal menguasai suatu tugas.
c) Tes sumatif
Keseluruhan skor atau sebagian skor dari
tujuan-tujuan yang dicapai.
Scawia
B. Anderson membedakan tes menurut dimensi-dimensinseperti tersebut di bawah
ini:
1. Tes ditinjau dari unsur suatu kegiatan
dapat dibedakan atas:tes pengukur proses dan tes pengukur hasil.
2. Tes ditinjau dari tujuan penggunaan
hasil,dibedakan atas: tes formatif,tes subsumatif dan tes sumatif.
3. Tes ditinjau dari konstruksi yang
diukur,dibedakan atas:tes kepribadian,tes bakat,tes kemampuan,tes
minat,perhatian,sikap.
4. Tes ditinjau dari isi atau bidang studi
dibedakan atas tes matematik,sejarah.IPA,olah raga,keterampilan dan sebagainya.
5. Tes dilihat dari lingkup materi yang
diungkap,dibedakan atas tes pencapaian dan tes penelusuran.Tes hasil belajar
mengungkap materi yang luas sedang tes penelusuran dikenakan pada sebagian
kecil bahan agar tester dapat lebih cermat mengamati sesuatu.
6. Tes ditinjau keragaman butir atau tugas
dibedakan atas tes homogen dan tes heterogen.Tes yang digunakan untuk mengukur
sesuatu aspek misalnya faktor minat,maka tesnya terdiri dari butir-butir yang
seragam (homogen).Tes terstandar biasanya terdiri dari butir-butir yang
heterogen.
7. Tes ditinjau dari cara tester memberikan
respons,dibedakan atas tes tertulis,tes lisan,tes penampilan,tes
pengenalan(benar-salah,pilihan ganda,menjodohkan dan sebagainya).
8. Tes ditinjau dari cara skoring dibedakan
atas tes objektif (dikenal dengan “check point”) dan tes subjektif (tes yang
memerlukan pertimbangan subjektifitas penilai).
9. Tes ditinjau dari standar dalam
menentukan jawaban,yakni tes yang menuntut adanya kebenaran mutlak (mengenal
benar-salah)dan tes yang dimaksudkan untuk sekadar mengetahui keadaan seseorang
misalnya tes untuk sikap atau pendapat seseorang.
10. Tes ditinjau dari cara
pengadministrasian dibedakan atas pre tes (tes awal) yang dilakukan sebelum
diberikannya perlakuan,dan post test (tes akhir) yang dilakukan sesudah adanya
perlakuan.
11. Tes ditinjau dari tekanan aspek yang
diukur,dibedakan atas “speed test”,yakni tes yang digunakan untuk mengukur
kecepatan testee bekerja dan “power test” yakni tes yang digunakan untuk
mengukur kemampuan testee.Pembedaan atas tes berdasarkan aspek ini dijumpai
pada tes psikologi seperti halnya mengukur tes kemampuan umum (TKU).
12. Tes ditinjau dari banyaknya testee yang
dites,dibedakan atas individual dan tes kelompok.Tes pengukuran intelegensi
yang sifatnya klinis,merupakan contoh tes individual sedangkan tes-tes yang
berhubungan dengan pencapaian di lapangan pendidikan,industri atau militer,pada
umumnya merupakan tes kelompok.
13. Tes ditinjau dari
penyusunannya,dibedakan atas tes buatan guru dan tes yang diperdagangkan,yang
dikenal dengan tes terstandar.
PERINGKAS
FEBRIANTI
NURMA W.
NIM. 105600
BAB III
KLASIFIKASI TUJUAN
INSTRUKSIONAL
A.
Jenis-Jenis Tujuan Pendidikan
Setiap
Negara tentu mempunyai cita-cita tentang warga negaranya akan diarahkan.
Cita-cita terseut dimanifestasikan dalam bentuk tujuan pendidikannya. Cita-cita bangsa Indonesia adalah terbentuknya
manusia Pabcasila bagi seluruh warga negaranya. Tujuan pendidikannya telah
disejajarkan dengan cita-cita tersebut.
Memahami makna dari rumusan tersebut dan
menterjemahkannya dalam bentuk rumusan tujuan yang sesuai dengan tingkat dan
jenis pendidikan yang diselenggerakan pada lembaga tersebut. Inilah yang
disebut sebagai tujuan instruksional. Dengan demikian maka tujuan pendidikan
nasional memiliki fungsi frame of
reference untuk selanjutnya dijabarkan menjadi tujuan instruksional.
Berikut ini adalah kutipan rumusan tujuan umum tersebut.
“Pengembangan di bidang pendidikan
didasarkan atas falsafah Negara Pancasila dan diarahkan untuk membentuk
manusia-manusia pembangunan yang ber-Pancasila dan untuk membentuk manusia
Indonesia yang sehat jasmani dan rohaninya memiliki pengetahuan dan
ketrampilan, dapat mengembangkan kreativitas dan tanggung jawab, dapat
menyuburkan kecerdasan yang tinggi dan diserta budi pekerti yang luhur,
mencintai bangsanya dan mencintai sesama manusia sesuai dengan ketentuan
termaktub dalam UUD 1945.”
Kegiatan-kegiatan yang muncul dalam pola
kesamaan pendidikan, didasarkan pada rumusan tujuan pendidikan nasional ini.
Sedangkan materinya perlu diisi dari hasil studi empiris. Sebagai tindak lanjut
dari penjabaran tujaun umum menjadi tujuan instruksional adalah perumusan lain
telah disiapkan oleh para ahli bidang studi.
Untuk dapat memenuhi harapan dicapainya
penguasaan terhadap program kulikuler ini, dirumuskan suatu tujuan yang
dirumuskan untuk masing-masing bidang studi.
1) Tujuan istitusioanal adalah tujuan dari
masing-masing institusi atau lembaga.
2) Tujuan kurikuler adalah tujuan dari
masing-masing bidang studi.
3) Tujuan institusional dan tujuan
kurikuler selalu merupakan sumbangan bagi tercapainya tujuan umum yakni tujuan
pendidikan nasional.
B.
Tujuan Instruksional
Tujuan instruksional yaitu tujuan
yang menggambarkan pengetahuan, kemampuan, ketrampilan dan sikap yang harus
dimiliki oleh siswa sebagai akibat dari hasil pengajaran yang dinyatakan dalam
bentuk tingkah laku (behavior) yang
dapat diamati dan diukur.
Di dalam merumuskan tujuan
instruksional harus diusahakan agar nampak bahwa setelah tercapainya tujuan itu
terjadi adanya perubahan pada diri anak yang meliputi kemampuan intelektual,
sikap/minat maupun ketrampilan oleh Bloom dan kawan-kawan dikenal sebagai aspek
kognitif, aspek afektif dan aspek psikomotor.
Apa tujuan instruksional itu memang
perlu?
Dalam merancang system belajar yang akan
dilakukan guru, langkah pertama yang ia lakukan adalah membuat tujuan instruksioanal.
Dengan tujuan istruksioanal:
1) Guru mempunyai arah untuk:
- memilih bahan pelajaran,
- memilih prosedur (metode) mengajar.
2) Siwa mengetahui arah belajarnya.
3) Setiap guru mengetahui batas-batas tugas
dan wewenangnya mengajarkan suatu bahan.
4) Gurumempunyai patokan dalam mengadakn
penilaian kemajuan belajar siswa.
5) Guru sebagai pelaksana dan
petugas-petugas pemegang kebijaksanaan (decision
maker) mempunyai criteria untuk mengevaluasi kualitas maupun efisiensi
pengajaran.
C.
Merumuskan Tujuan Instruksional
Perlu adanya perumusan yang jelas
bagi tujuan instuksional itu untuk mengetahui perubahan apakah yang telah
terjadi pada waktu pengajaran. Pada pelaksanaan sistem-sistem baru, tujuan
instruksional ini sudah diketahui oleh siswa sebelum pelajaran mulai.
Langkah-langkah dalam merumuskan tujuan
instruksional khusus (TIK)
1. Membuat sejumlah TIU (Tujuan
Instruksional Umum) untuk setiap mata pelajaran/bidang studi yang akan
diajarkan.
2. Dari masing-masing TIU dijabarkan
menjadi sejumlah TIK yang rumusannya jelas, khusus, dapat diamati, terukur, dan
menunjukan perubahan tingkah laku.
TIU ini perlu diperinci lagi
sehingga menjadi jelas dan tidak dapat disalahtafsirkan oleh beberapa orang.
Rumusan TIK yang lengkap memuat tiga komponen, yaitu:
1. Tingkah laku akhir (terminal behavior).
2. Kondisi demonstrasi (condition of demonstration or tes).
3. Standar keberhasilan (standard of performance).
D.
Data-Data Operasional
a.
Cognitive Domain
Levels
and Corresponding Action Verb.
1) Penegtahuan (knowledge).
- Mendefinisikan, mendeskripsikan,
mengidentifikasikan, mendaftarkan, menjodohkan, menyebutkan, menyatakan (states), mereproduser.
2) Pemahaman (comprehension).
- Mempertahankan, membedakan, menduga (estimate), menerangkan, memperluas,
menyimpulkan,menggeneralisasi, memberikan contoh, menuliskan kembali,
memperkirakan.
3) Aplikasi.
- Mengubah, menghitung, mendemotrasikan,
menemukan, memanipulasikan, memodifikasikan, mengoperasikan, meramalkan,
menyiapkan, menghasilkan, menghubungkan, menunjukkan, memecahkan, menggunakan.
4) Analisis.
- Memperinci, mengasuh diagram, membedakan,
mengidentifikasikan, mengilustrasikan, menyimpulkan, menunjukkan,
menghubungkan, memilih, memisahkan, membagi (subdivides).
5) Sintesis.
- Mengkategorisasi, mengkombinasi, mengarang,
menciptakan, membuat desain, menjelaskan, memodifikasikan, mengorganisasikan,
menyusun, membuat rencana, mengatur kembali, merekontruksikan, menghubungkan,
mereorganisasikan, merevisi, menuliskan kembali, menuliskan, menceritakan.
6) Evaluasi.
- Menilai, membandingkan, menyimpulkan,
mempertentangkan, mengkritik, mendeskripsikan, membedakan, menerangkan,
memutuskan, menafsirkan, menghubungkan membantu (supports)
b.
Affrective Domain
Learning levels and
corresponding action verbs.
1)
Resiving.
- Menanyakan, memilih, mendeskripsikan,
mengikuti, memberikan, mengidentifikasikan, menyebutkan, menunjukan, memilih,
menjawab.
2)
Responding.
- Menjawab, membantu, mendiskusikan, menghormat,
berbuat, melakukan, membaca, memberikan, menghafal, melaporkan, memilih,
menceritakan, menulis.
3)
Valuing.
- Melengkapi, menggambarkan, membedakan,
menerangkan, mengikuti, membentuk, mengundang, menggabung, mengusulkan,
membaca, melaporkan, memilih, bekerja, mengambil bagian (share), mempelajari.
4)
Organization.
- Mengubah, mengatur,
menggabungkan, membandingkan, melengkapi, mempertahankan, menerangkan,
generalisasi, mengidentifikasikan,
mengintegrasikan, memodifikasikan, mengorganisasi, menyiapkan, menghubungkan,
mensistesikan.
5)
Characterization by value complex.
- Membedakan, menerapkan, mengusulkan,
memperagakan, mempengaruhi, mendengarkan, memodifikasikan, mempertunjukan,
menanyakan, merevisi, melayani, memecahkan, menggunakan.
c.
Psikomotor Domain
Kata-kata
operasional untuk aspekpsikomotor harus menunjuk pada aktualisasi kata-kata
yang dapat diamati meliputi:
1) Muscular
or motor skills.
- Mempertontonkan gerak, menunjukan hasil
(pekerjaan tangan), melompat, menggerakkan, menampilkan.
2) Manipulation
of materials or objects.
- Mereparasi,
menyusun, membersihkan, menggeser,
memindahkan, membentuk.
3) Neuromuscular
coordination.
- Mengamati,
mengetrapkan, menghubungkan, menggandeng, memadukan, memasang, memotong,
menarik, menggunakan.
E.
Kondisi Demonstrasi
Kondisi
demonstrasi adalah komponen TIK yang menyatakan suatu kondisi atau situasi yang
dikenakan kepada sisiwa pada saat ia mendemostrasikan tingka laku akhir.
Standar keberhasilan adalah komponen TIK yang menunjukan seberapa jauh tingkat
keberhasilan yang dituntut oleh penilai bagi tingkah laku pelajar pada situasi
akhir. Tingkatan keberhasilan dapat dinyatakan dalam jumlah maupun presentase.
Setelah
kurikulum tahun 1975 berjalan beberapa tahun, timbullah berbagai ketidakpuasan.
Dikatakan bahwa tujuan belajar yang dimaksud, terlalu bersifat “behavioristic” yakni mementingkan
tingkah laku, disamping juga hanya bersifat “output
oriented”, yakni terlalu mementingkan hasil.
Dalam
pedoman pelaksanaan kurikulum dijelaskan bahwa dalam kegiatan belajar-mengajar
guru diharuskan memperhatikan pula keterampilan siswa dalam hal memperoleh
hasil. Pendekatan ini disebut dengan istilah pendekatan keterampailan proses
(PKP). Keterampilan-keterampilan yang dimaksud meliputi keterampilan dalam hal:
a. Mengamati.
b. Menginterprestasikan (menafsirkan) hasil
pengamatan.
c. Meramalkan.
d. Menerapkan konsep.
e. Merencanakan penelitian .
f. Melaksanakan penelitian.
g. Mengkomunikasikan hasil penemuan.
Sesuai dengan tuntutan tersebut maka guru
dalam merumuskan tujuan instruksional khusus harus mengandung apa yang
dilakukan siswa dalam kegiatan belajar-mengajar (keterampilan yang mana),
bagaimana menunjukkan kemampuan atau hasilnya (tingkah laku) dan perolehannya.
Tujuan instruksional umum yang termuat sudah dirumuskan dalam satu rumusan yang
menjelaskan:
a. Materi yang dipelajari
b. Perilaku yang mengutarakan hasil
c. Proses mencapainya.
Pengklasifikasian tujuan pendidikan
(taksonomi) telah dikembangkan oleh Benjamin Bloom (1956) dan Krathwohl (1964).
Benjamin Bloom mengelompokkan kemampuan manusia ke dalam dua ranah (domain) utama yaitu rangh kognitif dan
ranah non-kognitif. Ranah non-kognitif dibedakan lagi atas dua kelompok ranah,
yakni ranah afektif dan ranah psikomotor. Ranah kognitif diklasifikasikan
berdasarkan kemampuan intelektual, berjenjang dari ingatan, pemahaman
penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi. Ranah afektif berhubunhan dengan
moral. Ranah psikomotor bertalian erat dengan alat sensoari motorik.
Penetapan tujuan, yang merupakan suatu
keharusan dalam perencanaan pengajaran, perlu dirumuskan dengan jelas dan
tegas. Penetapan tujuan pengajaran ibarat penatapan tujuan suatu perjalanan.
BAB
IV
BEBRBAGAI
TEKNIK EVALUASI
A.
Measurement Model
Model ini dapat dipandang sebagai model yang tertua dalam
sejarah evaluasi dan telah banyak dikenal didalam proses evaluasi pendidikan.
Tokoh-tokoh evaluasi yang dipandang sebagi pengembang model ini adalah R.
Thondike dan R. L. Ebel.
1.
Hakikat Evaluasi
Model
ini sangat menitikberatkan peranan kegiatan pengukuran di dalam melaksanakan
proses evaluasi. Besarnya peranan atau arti pengukuran dalam proses evaluasi menurut
model ini, telah menyebabkan kaburnya batas-batas antara pengertian pengukuran
dan evaluasi itu sendiri bahwa jika tanpa ada pengukuran tidak ada evaluasi.
Pengukuran,
menurut model ini tidak dapat dilepaskan dari pengertian kuantitas dan jumlah. Jumlah
ini akan menunjukkan besarnya (magnitude)
objek, orang ataupun peristiwa yang dilukiskan dalam bentuk unit-unit ukuran
tertentu.
Dijadikannya
jumlah sebgai dasar dan ciri khas dalam kegiatan pengukuran yang semakin
berkembang dengan pesat, bertolak dari suatu keyakinan yang diungkapkan oleh R.
L. Thorndike yaitu bahwa if anything
exists, it exists in quantity, and if it exist in quantity it can be measured. Pengukuran,
dengan demikian dipandang sebagai kegiatan menentukan besarnya suatu (atribute) tertentu yang dimiliki oleh
objek, orang maupun peristiwa, dalam bentuk unit ukuran tertentu.
Evaluasi
pendidikan pada dasarnya tidak lain adalah pengukuran terhadap berbagai aspek
tingkah laku dengan tujuan untuk melihat perbedaan-perbedaan individual atau
kelompok, yang hasilnya diperlukan dalam rangka seleksi, bimbingan, dan
perencanaan pendidikan bagi para siswa di sekolah.
2.
Ruang Lingkup Evaluasi
Objek evaluasi di sini
mencakup baik aspek kognitif maupun dengan kegiatan evaluasi pendidikan di
sekolah, model ini menitik beratkan pada pengukuran terhadap hasil belajar yang
dicapai siswa pada masing-masing bidang pelajaran dengan menggunakan tes. Hasil
belajar yang dijadikan objek evaluasi di sini adalah hasil belajar dalam bidang
pengetahuan (kognitif) yang mencakup berbagai tingkat kemampuan, yang
evaluasinya dapat dilakukan secara kuantitatif-objektif dengan menggunakan
prosedur yang dapat distandardisasikan.
3.
Pendekatan
Untuk
mendapatkan hasil pengukuran yang setepat mugkin ada kecendrungan dari model measurement ini untuk mengembangkan
alat-alat evaluasi (tes) yang baku atau standardized.
Oleh karena itu, setelah suatu tes dicobakan kepada sampel yang cukup besar,
berdasarkan data yang diperoleh, diadakan analisis untuk menentukan validitas
dan rehabilitas tes secara keseluruhan maupun setiap soal yang terdapat di
dalamnya. Mengingat salah satu tujuan pengukuran adalah mengungkapkan perbedaan
individual di kalangan para siswa, dalam menganalisis soal-soal tes sangat
diperhatikan faktor tingkat kesukaran dan daya pembeda yang dimiliki
masing-masing soal.
Selanjutnya,
untuk mengungkapkan hasil-hasil yang telah dicapai kelompok ataupun
masing-masing individu di dalam evaluasi mengenai suatu bidang pelajaran
tertentu, dikembangkan suatu norma kelompok berdasarkan angka-angka nyata yang
diperoleh siswa didalam tes yang telah dilaksanakan. Atas dasar norma kelompok
inilah kemudian nilai untuk masing-masing siswa ditentukan. Norma yang
digunakan di sini adalah norma yang relatif.
Pendekatan
yang ditempuh oleh model ini dalam menilai sistem pendidikan adalah
membandingkan hasil belajar antara dua atau lebih kelompok yang menggunakan
cara pengajaran yang berbeda sebagai variabel bebas. Analisis perbedaan skor
ini dilakukan dengan menggunakan cara-cara statistik tertentu untuk dapat
menyimpulkan cara pengajaran mana yang lebih efektif di antara cara-cara yang
dinilai tadi.
B.
Congruence Model
Model
yang kedua ini dapat dipandang sebagai reaksi terhadpa model yang pertama.
Tokoh-tokoh evaluasi yang merupakan pengembangan model ini antara lain adalah
Raph W. Tyler, John B. Carroll, dan Lee J. Cronbach.
1.
Hakikat Evaluasi
Tyler menggambarkan
pendidikan sebagai suatu proses, yang didalamnya terdapat tiga hal yang perlu
dibedakan, tujuan pendidikan, pengalaman belajar dan penilaian terhadap hasil
belajar. Evaluasi di sini dimaksudkan sebagai kegiatan untuk melihat sejauh
mana tujuan-tujuan pendidikan telah dapat dicapai siswa dalam bentuk hasil
belajar yang mereka perlihatkan pada akhir kegiatan pendidikan.
Ditinjau dari
kepentingan sistem pendidikan, hasil evaluasi ini dimaksudkan sebagai umpan
balik untuk kebutuhan memperbaiki bagian-bagian sistem yang masih “lemah” serta
untuk memberikan informasi kepada pihak-pihak di luar pendidikan tentang sejauh
mana tujuan-tujuan yang diinginkan itu telah dapat dicapai oleh sistem
pendidikan yang ada. Evaluasi itu tidak lain adalah usaha untuk memeriksa
persesuaian (congruence) antara
tujuan-tujuan pendidikan yang diinginkan dan hasil belajar yang telah dicapai.
2.
Ruang Lingkup Evaluasi
Berhubung evaluasi
menurut model yang kedua ini dimaksudkan untuk memeriksa persesuaian (congruence) antara tujuan dan hasil
belajar, maka yang dijadikan objek evaluasi adalah tingkah laku siswa. Secara
lebih khusus, yang dinilai di sini adalah perubahan tingkah laku yang
diinginkan (intended behavior).
Tingkah laku hasil
belajar ini tidak hanya terbatas pada segi pengetahuan (kognitif), melainkan
juga mencakup dimensi-dimensi lain dari tingkah laku yang tergambar dalam
tujuan-tujuan pendidikan. Tingkah laku hasil belajar yang perlu dinilai menurut
model ini mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan nilai/sikap.
3.
Pendekatan
Model ini tidak
membatasi alat evaluasi hanya pada tes tertulis atau paper and pencil test saja. Carroll misalnya, menyebutkan perlunya
digunakan alat-alat evaluasi lain seperti tes perbuatan dan juga observasi.
Dalam menilai hasil
belajar yang mencakup berbagai jenis sebagaimana yang tercantum dalam rumusan,
tujuan-tujuan pendidikan yang ingin dan perlu dicapai, model ini menganut
pendirian bahwa berbagai kemungkinan alat evaluasi perlu digunakan. Ada dua hal
penting yang perlu dikemukakan mengenai pendekatan evaluasi yang dianut oleh
model ini:
Pertama, perlu adanya
evaluasi sebelum dan sesudahnya kegiatan pendidikan berlangsung dilaksanakan
menggunakan prosedur pre dan post test untuk menilai hasil atau gains yang
dicapai siswa. Kedua, model ini tidak menyarankan dilaksanakannya apa yang
disebut evaluasi perbandingan untuk melihat sejauh mana kurikulum yang baru
lebuh efektif dari kurikulum yang ada. Karena itulah baik Tyler maupun Cronbach
lebih mengarahkan peranan evaluasi pada tujuan untuk memperbaiki kurikulum atau
sistem pendidikan.
Mengenai
langkah-langkah yang perlu ditempuh di dalam proses evaluasi menurut model ini,
Tyler mengajukan 4 langkah pokok yaitu:
a) Merumuskan atau mempertegas
tujuan-tujuan pengajaran.
b) Menetapkan “test situation” yang diperlukan.
c) Menyusun alat evaluasi.
d) Menggunakan hasil evaluasi.
C.
Educational System Evaluation Model
G.
V. Class dalam tulisannya yang berjudul Two
Generations of Evaluation Models menyebut model ketiga ini sebagai Educational System Evaluations Model karena
ketiga ruang lingkupnya yang jauh lebih luas dari kedua model yang terdahulu.
Tokoh-tokoh evaluasi yang dipandang sebagai pengembang dari model yang ketiga
ini antara lain adalah Daniel L. Stufflebeam, Michael Scriven, Robert E. Stake
dan Malcolm M. Provus.
1.
Hakikat Evaluasi
Model ini bertitik
tolak dari pandangan, bahwa keberhasilan dari suatu sistem pendidikan
dipengaruhi oleh berbagai faktor, karakteristik anak didik maupun lingkungan
sekitarnya, tujuan sistem dan peralatan yang dipakai, serta prosedur dan mekanisme
pelaksanaan sistem itu sendiri.
Evaluasi, menurut model
ini dimaksudkan untuk membandingkan performance
dari berbagai dimensi sisitem yang sedang dikembangkan dengan sejumlah kriteria
tertentu, untuk akhirnya sampai pada suatu deskripsi dan judgemnet mengenai sistem yang dinilai tersebut.
Ada beberapa hal di
dalam isi pandangan di atas yang perlu digarisbawahi dan diuraikan yaitu:
a) G. V. Class dalam tulisannya Two Generaion f Evaluation Models menegaskan
bahwa the complete and detailed
description of what constitutes of educational program is a concern of the
educational system evaluation. Dengan kata lain, di samping hasil yang
dicapai, dimensi-dimensi lainnya dari sistem yang berpengaruh terhadap hasil
yang akan dicapai, juga menjadi objek evaluasi dari model ketiga ini.
b) Perbandingan antara performance dan kriteria juga merupakan salah satu inti yang
penting dalam konsep evaluasi menurut model ini. Malcolm M. Provus, dalam
pembahasannya mengenai The Discrepancy
Evaluation Model mengemukakan bahwa there can be non evaluation without
discrepancy information; the can be non discrepancy without standards or
criteria. Salah satu kelemahan dari evaluasi yang ada sekarang, menurut
Daniel L. Stufflebeam, adalah kurang jelasnya kriteria yang digunakan sebagai
dasar di dalam mengadakn evaluasi tersebut.
c) Model ini berpandangan bhawa kegiatan
evaluasi tidak hanya berakhir pada suatu deskripsi tentang keadaan dari sistem
yang telah dinilainya, melainkan harus sampai pada suatu judgment mengenai baik-buruknya, efektif tidaknya, sistem
pendidikan yang bersakutan. Dalam tulisannya The Countenance of Educational Evaluation, Robert E. Stake
mengemukakan bahwa from relative judgment as well as from
absolute judgment, we obtain an overall or composite rating of merit, a rating
to be used in making an educational dicision.
Informasi yang diperoleh dari hasil
evaluasi berfungsi sebagai bahan atau input bagi pengambilan keputusan mengenai
sistem yang bersangkutan dalam rangka:
a) Penyempurnaan sistem selama sistem
tersebut masih dalam tahap pengembangan, dan
b) Penyimpulan mengenai kebaikan (merit,
worth) dari sistem pendidikan yang bersangkutan dibandingkan dengan sistem yang
lain.
Dalam hubungan dengan fungsi
evaluasi tersebut diatas Michael Scriven membedakan anatar formative evaluation dan
summative evaluation. Formative evaluation diadakan pada saat kurikulum
atau sistem pendidikan itu masih dalam tahap pengembangannya. Sebalikya, summative evaluation dilakukan pada saat
kurikulum itu sudah dalam kedaan “siap” setelah selesai menempuh fase pengujian
dan penyempurnaan selama tahap pengembangan.
2.
Ruang Lingkup
Stake membagi objek
evaluasi atas tiga kategori yaitu antecedents,
transactions, dan outcomes.
Dengan antecedents dimaksudkan adalah
sumber/model/input yang ada pada saat sistem itu dikembangkan. Transaction mencakup rencana kegiatan
maupun proses pelaksanaannya di lapangan. Dengan outcomes di sini dimaksudkan antara lain adalah hasil yang dicapai
para siswa, reaksi guru terhadap sistem tersebut, dan efek sampingan dari
sistem yang bersangkutan.
Stufflebeam, dalam
bukunya Educational Evaluation and
Decision Making, menggolongkan sistem pendidikan atas 4 dimensi yaitu context, input, process, dan product, serta mengajukan suatu model
evaluasi dengan nama CIPP (Context Input
Process Product).
a) Context : situasi
atau latar belakang yang mempengaruhi jenis-jenis tujuan dan strategi
pendidikan yang akan dikembangkan dalam sistem bersangkutan.
b) Input : sarana/modal/bahan
dan rencana strategi yang diterapkan.
c) Process : pelaksanaan
strategi dan penggunaan sarana/modal/bahan di dalam kegiatan nyata di lapangan.
d) Product : hasil yang dicapai baik selama maupun pada
akhir pengembangan sistem pendidikan yang bersangkutan.
Scriven, dalam
tulisannya The Methodology of Evaluation membedakan
antara instrumental evaluation dan consequential evaluation. Instrumental
evaluation mencakup evaluasi terhadap tujuan, isi, cara yang ditetapkan, maupun
pelaksanaan dari cara-cara tersebut di kelas. Sedangkan consequential evaluation mencakup evaluasi terhadap hasil.
Provus mengemukakan 4
dimensi yang perlu dinilai dalam proses pengembangan sistem pendidikan, yaitu design, operation program, interim products,
dan terminal products. Design di sini dapat dihubungkan dengan
rencana/sarana, sedangkan operation
program dapat diartikan sebagai proses pelaksanaan. Yang dimaksudkan dengan
interim products adalah hasil belajar
jangka pendek sedangkan terminal products
adalah hasil belajar dalam jangka waktu yang lebih panjang.
Sehubungan dengan ruang
lingkup objek evaluasi yang diajukan oleh model yang ketiga ini, jenis-jenis
data yang dikumpulkan dalam kegiatan evaluasi menurut model ini mencakup baik
data-data objektif (skor hasil tes) maupun data-data subjektif atau judgmental data (pandangan guru-guru,
reaksi para siswa, dan sebagainya). Menurut model ini, kenyataan bahwa judgment itu mengandung unsure-unsur
subjektif tidak mengurangi pentingnya hal tersebut dalam proses evaluasi.
3.
Pendekatan
Ada
dua pendekatan utama yang diajukan oleh model ini dalam pelaksanaan evaluasi: Pertama, membandingkan performance
setiap dimensi sistem dengan kriteria intern dalam sistem itu sendiri; dan kedua, membandingkan performance setiap
dimensi sistem dengan kriteria ekstern di luar sistem yang bersangkutan.
a)Perbandingan
berdasarkan kriteria intern.
Pendekatan
yang pertama ini ditempuh pada saat sistem masih berada pada fase pengembangan
dan masih mengalami perbaikan-perbaikan. Untuk setiap dimensi sistem (input, proses, hasil) dilakukan evaluasi
berdasakan kriteria yang ada:
1) Rencana yang dinilai berdasarkan
criteria rencana yang baik.
2) Proses (pelaksanaan) dievaluasi dari
kesesuaiannya dengan rencana yang ada.
3) Hasil yang dicapai dinilai dari
kesesuaiannya dengan tujuan yang ingin dicapai.
Stake melukiskan pendekatan yang pertama ini dengan
menggunakan dua cara evaluasi, yaitu menetapkan contingencies antara antecedents,
transaction dan outcomes dan
menetapkan congruence antara apa yang
diharapkan (kriteria) dan apa yang nyata terjadi (performance). Yang dimaksud dengan contingencies adalah hubungan logis antara ketiga dimensi sistem.
Sedangkan dengan congruence, dimaksudkan
adalah kesesuaian antara yang diharapkan (kriteria) dan yang
terjadi/dihasilkan.
b) Perbandingan
berdasarkan kriteria ekstern.
Pendekatan
yang kedua ini ditempuh pada saat sistem sudah berada dalam keadaan “siap”.
Perbandingan yang akan dilakukan di sini berdasarkan atas kriteria di luar sistem
yang baru tersebut, kriteria ini sifatnya relatif. Provus, Scriven, dan
Stufflebeam juga mengemukakan pentingnya evaluasi secara menyeluruh ini
mencakup pula evaluasi dari segi biaya (cost
analysis) untuk melihat segi efisiensi dari program yang dikembangkan itu.
Untuk melaksanakan kedua pendekatan di
atas diperlukan berbagai cara evaluasi di samping tes hasil belajar, yaitu
observasi, angket, wawancara dan juga content
analysis.
D.
Illuminative Model
Model yang keempat ini
pun dikembangkan sebagai reaksi terhadap dua model evaluasi yang pertama, yaitu
measurement dan congruence. Penggunaan nama Illuminative
Model oleh pengembangannya didasarkan atas alasan bahwa penggunaan berbagai
cara penilaian di dalam model ini bila dikombinasikan akan “help illuminative problems, issue, and significant program features”.
Salah seorang tokoh yang paling menonjol dalam usahanya mengembangkan model ini
adalah Malcolm Parlett.
1.
Hakikat Evaluasi
Model yang keempat ini
lebih menekankan pada evaluasi kualitatif dan “terbuka”. Sistem pendidikan yang
dinilai tidak ditinjau sebagai suatu yang terpisah melainkan dalam hubungan
dengan suatu learning milieu, dalam
konteks sekolah sebagai lingkungan material dan psikososial, yang guru dan
muridnya bekerja sama. Menghubungkan kegiatan evaluasi dengan suatu learning milieu membawa penilai kepada
situasi yang konkret tapi juga kompleks.
Tujuan evaluasi menurut
model yang keempat ini adalah mengadakan studi yang cermat terhadap sistem yang
bersangkutan. Model ini lebih banyak
menekankan pada penggunaan judgment.
2.
Ruang Lingkup
Objek evaluasi yang
diajukan oleh model ini mencakup:
a) Latar belakang dan perkembangan yang
dialami oleh system yang bersangkutan.
b) Proses pelaksanaan sistem itu sendiri.
c) Hasil belajar yang diperlihatkan oleh
para siswa
d) Kesukaran-kesukaran yang dialami dari
perencanaan sampai dengan pelaksanaannya di lapangan.
Objek
evaluasi ini mencakup baik kurikulum yang “terlihat” maupun kurikulum yang
“tersembunyi”.
3.
Pendekatan
Model
evaluasi ini mengajukan pendekatan yang merupakan alternatif bagi apa yang
disebut sebagai agricultural-botany
paradigm. Pendekatan yang diguanakan lebih menyerupai pendekatan yang
diterapkan dalam bidang antropologi sosial, psikiatri dan jenis-jenis
penelitian tertentu di bidang sosiologi. Cara-cara yang digunakan dalam
pendekatan ini lebih bersifat fleksibel dan selektif. Pengembang model ini beranggapan bahwa “the problem defines the methode used, not
vice versa”. Ini berarti bahwa model yang digunakan dalam evaluasi
hendaknya model yang sifatnya responsif terhadap segala perkembangan yang
dialami program-program proses evaluasi berlangsung.
Ada tiga fase evaluasi yang diajukan secara berturut-turut,
yaitu:
Tahap 1 : Observe
Dalam
tahap ini penilaian mengunjungi sekolah tempat suatu sistem sedang
dikembangkan.
Tahap 2 : Inquiry further
Dalam
tahap ini, berbagai persoalanyang terlihat atau terdengar dalam tahap pertama
kini diseleksi.
Tahap 3 : Seek to
explain
Dalam
tahap ketiga, penilai mulai meneliti sebab-akibat dari masing-masing persoalan.
Pendekatan
yang digambarkan di atas, dalam model ini disebut sebagai progressive focusing yang kegiatan penilaiannya dilakuakna secara
bertahap dengan fokus yang makin lama makin terarah sampai kepada
interprestasi. Pendekatan yang ditempuh model ini dalam melaksanakan evaluasi
lebih bersifat terbuka atau open-ended
dan dalam melaporkan hasil evaluasi lebih banyak diguanakan cara deskriptif
dalam penyajian informasinya.
PERINGKAS
UNTANIA
WINDY S.
NIM. 105696
BAB V
PENGUKURAN RANAH
KONGNITIF, AFEKTIF, DAN PSIKOMOTOR DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Pengukuran
dalam sekolah berkaitan hanya dengan pencandraan (deskripsi) kuantitatif
mengenai tingkah laku siswa . Pengukuran tidak melibatkan pertimbangan mengenai
baiknya atau nilai tingkah laku. Seperti halnya tes , pengukuran pun tidak
menentukan siapa yang lulus dan siapa
yang tidak lulus .diukur laku . Pengukuran hanya membuahkan data
kuantitatif mengenai hal yang diukur. Pengukuran hanya memberikan angka – angka
tentang sesuatu berdasarkan keteria tertuntu. Oleh karena itu Load dan Novick
(1968) Mendefinisikan sebagai berikut:
“A
procedure assigning numbers (usually called scores) to a specified attribute or
characteristic of persons in such a manner as to maintain the real world
relationships among the persons with regard to the attribute being measured.”
“Suatu prosedur untuk memberikan angka
(biasanya disebut skor) kepada suatu sifat atau karakteristik tertentu
seseorang sedemiokian sehingga mempertahankan hubungan senyatanya antara
seseorang dengan orang lain, sehubungan dengan sifat yang diukur itu”.
Untuk
mengukur seseorang batasan seseorang perlu adanya tiga batasan yaitu:
1. Mengidentifisikan orang yang hendak
diukir.
2. Mengidentifisikan kerakteristik.
3. Menetapkan prosedur yang hendak dipakai
untuk memberikan angka – angka pada karakter tersebut.
Definisi
di atas pun menyiarkan bahwa aspek terpenting dari pengukuran adalah
angka-angka (skor) yang diberikan itu tetap mempertahankan hubungan
antarmanusia seperti yang ada dalam kenyataannya.
A.
Pengukuran Ranah Kognitif
Dalam
hubungan dengan satuan pelajaran, Ranah Kognitif memegang peranan paling utama.
Yang menjadi tujuan pengajaran di SD. SMP. Dan SMU pada umumnya adalah peningkatan kemam puan siswa
dalam aspek kognitif. Menurut taksonomi Bloom (1956) yang diurutkan secara
hierarki piramida.
Berikut ini adalah penjelasan singkat
mengenai tiap aspek sebagaimana diberikandalam taksonomi Bloom(1956):
1. Pengetahuan (Knowledge)
Pengetahuan
adalah aspek yang paling dasar dalam taksonomi Bloom. Sering kali disebut juga
aspk ingatan (recall).Dalam jenjang kemampuan ini seseorang dituntut untuk
dapat mengenali atau mengetahui adanya konsep, fakta atau istilah-istilah , dan
lain sebagainya tanpa harus mengerti atau dapat menggunakannya. Pengetahuan
atau kemampuan mengingat dapat diperinci sebagai berikut :
a. Terminologi
Kemampuan
yang paling besar ialah mengetahui arti tiap kata .
b. Fakta-fakta lepas (isolated facts)
Setelah memahami prinsip-prinsip
atau konsep-konsep bahasa , anak menanjak pada pengetahuan akan fakta –fakta
lepas . fakta yang diketahuinya tetap berdiri sendiri tanpa dihubungkan dengan
fakta-fakta lepas. Misalnya , pengetahuan tentang tanggal-tanggal dan tempat
peristiwa-peristiwa bersejarah , dan nama –nama tokoh.
c. Cara-cara mempelajari fakta
Cara mempelajarinya
antara lain dengan jalan mempertimbangkan , mengkritik atau mengorganisasikan
fakta-fakta lepas tersebut.
·
Konvensi
·
Trend
dan urut-urutan perkembangan
·
Kriteria
·
Metodologi
d. Universal dan abstraksi
Pengetahuan akan
bagan-bagan dan pola-pola utama yang dipakai untuk mengorganisasikan
fenomena-fenomena. Termasuk dalam kekompok ini adalah :
·
Prinsip-prinsip
dan generalisasi
·
Teori
2. Pemahaman (Comprehetion)
Kemampuan
ini umumnya mendapat penekanan dalam proses belajar-mengajar.Siswa dituntut
memahami atau mengerti apa yang diajarkan , mengetahui apa yang sedang
dikomunikasikan dan dapat memanfaatkan isinya tanpa keharusan menghubungkannya
dengan hal-hal lain. Kemapuan pemahaman dapat dijabarkan menjadi tiga, yaitu :
a. Menerjemahkan ( translation)
Pengertian menerjemahkan bukan saja
pengalihan arti dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain . Dapat juga dari
konsepsi abstrak menjadi suatu model simbolik untuk mempermudah orang
mepelajarinya.
b.
Menginterpretasi
(interpretation)
Kemampuan ini lebih luas dari
menerjemahkan , yaitu kemampuan untuk mengenal dan memahami
c.
Mengekstrapolasi(extrapolation)
Agak lain dari menerjemahkan dan
menafsirkan , tetapi lebih tinggi sifatnya . Ia menunjuk pada kemampuan
intelektual yang lebih tinggi.
3. Penerapan (Application)
Dalam
jenjang kemampuan ini dituntut kesanggupan ide-ide umum , tata cara, ataupun
metode-metode, prinsp-prinsip serta teori-teori dalam situasi baru dan konkret.
Situasi dimana ide , metode dan lain-lain yang dipakai itu harus baru , karena
apabila tidak demikian , maka kermampuan yang diukur bukan lagi penerapan
tetapi ingatan semata-mata.
Pengukuran
kemampuan ini umumnya menggunakan pendekatan pemecahan masalah (problem
solving). Melalui pendekatan ini siswa dihadapkan dengan suatu masalah , entah
riil atau hipotesis , yang perlu dipecahkan dengan menggunakan pengetahuan yang
telah dimilikinya.
Dengan
demikian penguasaan aspek ini sudah tentu harus disadari aspek pemahaman yang
mendalam tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan masalah tersebut.
4. Analisis (Analysis)
Dalam
jenjang kemampuan ini seseorang dituntut untuk dapat menguraikan suatu situasi
atau keadaan tertentu kedalam unsur-unsur atau komponen-komponen
pembentuknya.Dengan jalan ini situasi atau keadaan tersebut menjadi lebih
jelas. Bentuk soal yang sesuai untuk mengukur kemampuan ini adalah pilihan
ganda dan uraian . Kemampuan analisis diklasifikasikan menjadi tiga :
a. Analisis unsur
Dalam
analisis unsur diperlukan kemampuan merumuskan asumsi-asumsi dan
mengidentifikasi unsur-unsur penting dan dapat membedakan antara fakta dan
nilai.
b. Analisis hubungan.
Analisis
jenis ini menuntut kemampuan mengenal unsur-unsur dan pola hubungannya .
c. Analisis prinsip-prinsip yang
terorganisasi
Jenis
analisis ini menuntut kemapuan menganalisis pokok-pokok yang melandasi tatanan
suatu organisasi.
5. Sintesis (Synthesis)
Pada
jenjang ini seseorang dituntut untuk dapat menghasilkan sesuatu yang baru
dengan jalan menggabungkan berbagai faktor yang ada. Hasil yang diperoleh dari
penggabungan ini dapat berupa :
a. Tulisan.
Contoh
: kekalahan Frank Bruno dari Mike Tyson tanggal 25/26 Februari 1989.
Dari
hal-hal yang sifatnya sporadis , tidak sistematis ataupun sistematis dapat
dicoba membuat kesimpulan melalui suatu analisis.Dapat pula dibuat sintesis
dari tulisan menjadi lisan , dari lisan menjadi tulisan dari tulisan menjadi
tulisan yang lain , atau dari lisan menjadi lisan pula .
b. Rencana atau mekanisme.
Dengan
sintesis dapat pula dibuat suatu rencana atau mekanisme kerja . Semakin baik
sintesis itu dibuat , akan semakin baik pula rencana atau mekanisme kerja itu.
Sintesis dapat pula dibuat dengan jalan
atau dalam bentuk menghubung-hubungkan konsep-konsep yang sudah ada. Misalnya
menghubung-hubungkan berbagai teori tentang satu masalah tertentu ( listrik
magnit dan sebagainya.
6. Penilaian (Evaluation)
Dalam
jenjang kemampuan ini seseorang dituntut untuk dapat mengevaluasi situasi ,
keadaan , pernyataan , atau konsep berdasarkan suatu kriteria tertentu. Yang
penting dalam evaluasi ialah menciptakan kriteria tertentu. Yang penting dalam
evaluasi ialah menciptakan kondisinya sedemikian rupa sehingga siswa mampu mengembangkan
kriteria , standar, atau ukuran untuk mengevaluasi sesuatu.
Mengevaluasi
sesuatu berarti memberikan evaluasi terhadap sesuatu. Agar pengevaluasi itu
tidak subjektif, diperlukan standart, ukuran , atau kriteria.
Kriteria
untuk mengevaluasi itu dapat bersifat intern dan dapat pula bersifat ekstern.
Kriteria intern ialah yang berasal dari situasi atau keadaan yang dievaluasi
itu sendiri, sedangkan kriteria ekstern ialah yang berasal dari luar situasi
atau keadaan yang dinilai itu . Kemampuan evaluasi adalah jenjang tertinggi
dari aspek kognitif menurut Bloom.
Ajaran
Islam memang harus diamalkan , untuk itu nmesti terampil dalam mengamalkannya .
Tetapi , ajaran Islam juga harus diketahui dan dipahami. Di sekolah , pembinaan
agama Islam dilakukan secara teratur.
Pengetahuan
tentang agamg Islam terdiri atas pengetahuan konsep-konsep dan prisip-prinsip
yang ada di dalam ajaran Islam . Konsep – konsep dalam ajaran islam perlu
diketahui oleh siswa, terutama oleh guru agama. Pengetahuan entang konsep –
konsep dalam ajaran islam tidak hanya penting dilihat dari sudut pengetahuan ,
tetapi juga penting dilihat dari segi pengamalan. Pemahaman yang benar tentang
konsep itu dapat membantu benarnya pengamaln ajaran islam.
B.
Pengukuran Ranah Afektif
1. Menerima (Recceiving)
Jenjang
ini berhubungan dengan kesediayaan atau kemampuan siswa dalam fenomena atau
stimulikhusus (kegiatan dalam kelas, musik, baca buku, dan sebagainya).
Dipandang dari segi pengajaran , jenjang ini berhubungan dengan menimbulkan ,
mempertahankan , dan mengarahkan perhatian siswa.
2. Menjawab (Responding)
Kemampuan
ini bertalian dengan partisipasi siswa. pada tinkat ini para siswa tidak hanya
menghadiri suatu fenomena tertentu tetapi juga mereaksi terhadapnya dengan
salah satu cara.
3. Menilai (Valuing)
Jenjang
ini bertalian dengan nilai yang dikenakan siswa terhadap suatu objek, fenomena,
atau tingkah laku tertentu.
Jenjang ini berjenjang
mulai dari hanya sekadar penerimaan nilai ( ingin memperbaiki keterampilan
kelompok) sampai ke tingkat komitmen yang lebih tinggi (menerima tanggung jawab
untuk fungsi kelompok yang lebih efektif)
4. Organisasi (Organitation)
Tingkat
ini berhubungan dengan mennyatukan nilai – nilai yang berbeda, menyelesaikan
atau memecahkan konflik diantara nilai – nilai itu, dan mulai membentuk suatu
sistem nilai yang konsisten secara internal. Jadi, memberikan penekanan pada
membandingkan , menghubungkan dan mensistensiskan nilai-nilai.
5. Karakteristik dengan suatu nilai atau
kompleks nilai.
Pada
jenjang ini individu memiliki sistem ynag mengomtrol tingkah lakunya untuk
suatu waktu yang cukup lama sehingga membentuk karakteristik ”pola hidup”.
Inti
beragama adalah masalah sikap . di dalam islam sikap beragama itu intinya
adalah iman. Jadi yang dimaksud beragama pada intinya ialah beriman, ( dalam
pembahasan mendalam ditemukan bahwa iman itu adalh keseluruhan iman tersebut ).
Al
– qur’an menjelaskan bahwa manusia mempunyai aspek jasmani. Tidak ada pendapat
didalam islam yang merendahkan fungsi tubuh atau jasmani. Jasmani digunakan
untuk melakukan kerja fisik.
Akal
adalah salah satu aspek dari tiga aspek pokok manusia, ini diakui secara tegas
didalam islam. Akal adalah alat untuk berpikir. Yang terpenting dalam akal
adlah kerjanya , buka akal sebagai benda ( otak ).
Aspek
pokok ketiga manusia adalah aspek rohani. Aspek ini hampir – hampir tidak
mendapt perhatian dalam pendidikan barat. Padahal aspek ini yang terpenting
dalam pembinaan keberagamaan seseorang.
C.
Pengukuran Ranah Psikomotor
Skema berikut ini
diberikan untuk mendapatkan gambaran global tentang tingkat klasifikasi dan
subkategori dari ranah psikomotor.
Tingkat
klasifikasi dan subkategori
|
Batasan
|
Tingkah
laku
|
1. Gerakan refleks
1.1. Refleks segmental
1.2. Refleks intersegmental
1.3. Refleks supraseg- mental
|
Kegiatan
yang timbul tanpa sadar dalam menjawab rangsangan
|
Bungkuk
, meregangkan badan , penyesuaian postu tubuh.
|
2. Gerakan fundamental yang dasar
2.1. Gerakan lokomo- tor
2.2. Gerakan non- lokomotor
2.3. Gerakan manipulatif
|
Pola
– pola gerakan yang dibentuk dari ppaduan gerakan refleks dan merupakan dasar
gerakan terampil kompleks
|
Jalan
, lari, lompat, luncur, guling, mendaki, dorong, tarik, melintir, pegang dan
sebagainya.
|
3. Kemampuan persep- tual
3.1. Diskriminasi kinestetis
3.2. Diskriminasi visual
3.3. Diskriminasi audi- teoris
3.4. Diskriminasi taktil
3.5. Diskriminasi ter- koordinir.
|
Interprestasi
stimulasi dengan berbagai cara yang memberi data untuk siswa membuat
penyesuaian dengan lingkungannya.
|
Hasi
– hasil kemampuan perseptual diamati dalam semua gerakan yang disengaja.
|
4. Kemampuan fisik
4.1. Ketahanan
4.2. Kekuatan
4.3. Fleksibilitas
4.4. Agilitas
|
Karakteristik
fungsional dari kekuatan organik yang esensial bagi perkembangan gerakan yang
sangat terampil
|
Lari
jauh, berenang, gulat, bungkuk, balet, mengetik dan sebagainya
|
5. Gerakan trampil
5.1. Keterampilan adaptif
5.2. Keterampilan adaptif terpadu
5.3. Keterampilan adaptif kompleks.
|
Suatu
tingkat efisiensi apabila melakukan tugas- tugas gerakan kompleks yang
didasarkan atas pola gerakan yang interen
|
Sremua
keterampilan yang dibentuk atas dasar lokomotor dan pola gerakan manipulatif
|
6. Komunikasi nondiskursif
6.1. Gerakan ekspresif
6.2. Gerakan interpretif
|
Komunikasi
melalui grakan tubuh mulai dari ekspresi muka sampai gerakan koreografis yang
rumit.
|
Postur
tubuh, gerakan muka, semua gerakan tarian dan koreografis yang dilakuakn
dengan efisien
|
Walaupun ranah
psikomotor meliputi enam jenjang kemampuuan, namun masih dapat dikelompokkan
dalam 3 kelompok utama yaitu :
1. Keterampilan motorik.
Memperlihatkan gerak
menunjukkan hasil (pekerjaan tangan), menggerakkan, menampilkan, melompat dan
sebagainya.
2. Manipulasi benda – benda.
Menyusun, membentuk,
memindahkan, mengeser dan mereparasi dan sebagainya.
3. Koordinasi neoromoscular
Menghubungkan mengamati
memotong dan sebagainya.
Penanaman
iman kebanyakan berupa menciptakan kondisi yang memberikan kemungkinan tumbuh
dan berkembangnya rasa iman pada jiwa atau hati anak didik . Kondisi itu berupa
tindakan nyata memuliakan Tuhan , mencintai nabi , menghormat ajaran. Siswa itu
aktif di dalamnya pada kondisi itu iman diharapkan menetes di hati mereka.
Sebagai
pendidik kita harus menyadari benar bahwa usaha menjadikan siswa menjadi orang
yang benar – benar beriman , bukan usaha yang gampang.
BAB VI
PROSEDUR PELAKSANAAN
EVALUASI
Pekerjaan
mengevaluasi ada prosedur tersendiri, meksipun perlu ditekankan, bahwa pekerjaan
mengevaluasi lebihtepat untuk dipandang sebagai psuatu proses yang kontinu.
Pengetahhuan tentang prosedur ini ditambah dengan pengetahuan tentang fungsi
dalam keseluruan proses ovaluasi akan memungkinkan kita memperoleh gambaran
yang cukup jelas tentang sistematik pekerjaan evaluasi pada umumnya.
Dalam
evaluasi yang baik keputusan terahir atas perbandingan antara hasil keputusan
hasil interpretasi terhadap data tyang telah terkumpul untuk individu tertentu
kriterium yang telah dirumuska sebelumnya, jadi telah dapat kita lihat disini
hanya dua langkah yang dapat kita pisah – pisahkan untuk keperluan analisis ini
ialah langkah pengumpulan data dan langkah perumusan kriterium langkah mana
dari kedua langkah ini yang harus lebih dulu dikerjakan.
Kita
tandai di sini adanya langkah yang lain lagi dalam proses evaluasi iti, ialah
pengolahan data dan penafsiran data (interprentasi data). Antara pengumpulan
data dan pengolahan data serta penapsiran data mesih tersisip langkah lain.
Ialah verifikasi data yaitu suatu langkah yang diperlukan untuk menjalin data
yang hendak diolah lebih lanjut.
Dalam
praktek evaluasi yang baik, kita harus dapat membatasi diri artinya sejak
semula kita harus dapat memperkirakan dan menentukan , data yang bagaimana atau
data yang mana saja yang kita butuhkan dan harus kita kumpulkan untuk
memperluas suatu tugas evaluasi dan data mana saja yang tidak kita butuhkan,
dan tidak perlu kita cari.
Jelas
kiramya. Bahwa langkah ini harus mendahului setiap langkah yang lain. Langkah
ini biasanya kita sebut langkah perencanaan atau langkah ( planning ).
Dalam
kebanykan hal sangat dianjurkan untuk memasukkan juga kedalm langkah
perencanaan ini perumusan kriterium yang telah disebutkan tadi.
Dan
dibawah ini langkah – lahkah pokok yang kita bahas yaitu:
1. Langkah perencanaan.
2. Langkakh pengumpulan data.
3. Langkah persifikasi data.
4. Langkah pengolahan data.
5. Langkah penafsiran data.
Yang
penting disini ialah bahwa kita sebagai evaluator menyadari, dimanakah kita
harus memulai tugas kita dan dimana pula kita harus mengakhiri tugas kita. Dan
apa sajakah yang harus kita lakukan diantara kedua batas ini untuk menjamin
adanya evaluasi yang sebaik – baiknya. Kiranya perlu juga disebutkan disini
bahwa dalam beberapa situasi, pendidikan dilihat dari kepentingan anak atau
murid. Rangkain langkah – langkah yang telah disebutkan diatas belum dirasakan
selesai, tetapi masih harus dilanjutkan dengan beberapa langkah yang lain lagi.
Setelah
kita melakukan serangkain langkah – langkah tertentu, misalnya kita temukan
sebab – sebab utamanya, kita berikan kesimpulan me genai langkah – langkah yang
masih perlu dilakukan selanjutnya. Sampai disini selesailah pekerjaan kita
sebagai evaluator.
Perincian
Langkah-langkah Pokok:
A. Langkah
Perencanaan
Tidak
akan berlebihan kiranya kalau diketahui disini bahwa , sukses yang akan dapat
dicapai oleh suatu program evaluasi telah turut ditentukan oleh memadai atau
tidaknya
Langkah-langkah yang dilaksanakan dalam
perencanaan ini .
Evaluasi
yang sebaik mungkin dimaksudkan dalam situasi yang khusus evaluasi ini
betul-betul dapatbmemahami secara pasif liretatur dalam vak-vak pendidikan .
Yang lebih baik lagi ialah evaluasi yang dapat menghasilkan diferensiasi
individual yang sehalus-halusnya terhadap siswa-siswa kita dalam memahami secar
pasif litertur vak pendidikan .
Dengan
kata-kata pendidikan diferensiasi individual sehalus-halusnya kita maksudkan
disini , bahwa sedapat mungkin kita cegah adanya gambaran yang sama tentang dua
orang individu mengenai kecakapan mereka dalam vak yang kita ajarkan.
Soal
pertama yang dapat kita lakukan dalam langkah pokok perencanaan adalah
merumuskan kriterium yang akan kita pergunakan untuk menentukan , apakah
seorang siswa akan dapat diluluskan atau
tidak pada akhir pelajaran. Sumber yang dapat kita pergunakan untuk nmenyusun
kriterium tadi ialah tujuan pelajaran . Dengan menganalisis pelajaran yang
dirumuskan oleh pemimpin lembaga pendidikan , kita dapat menyusun kriterium
yang lebih jelas , lebih terperinci.
Penyusunan
kriterium secara jelas ini masih dapat kita sempurnakan lagi . Sekali lagi
tampak disni , bahwa setiap evaluator dapat menyesuaikan taraf penyelesaian
yang hendak dicapainya dalam melakukan sesuatu langkah kecakapan serta
pengetahuan yang dimilikinya.
Soal
kedua yang dapat kita lakukan dalam taraf perencanan ialaah soal-soal yang
berhubungan dengan pertanyaan bentuk evaluasi yang akan dipergunakan kemudian.
Bentuk soal perlu kita
pikirkan sejak semula , supaya setiap kali
kita hendak menilai kemajuan yang telah dicapai oleh siswa telah kita
ketahui cara-cara apa yang kita pergunakan . Manifestasi – manifestasi mana saja yang harus kita perhatikan pada
tingkah laku para siswa dan bagaimana cara mencatat atau mengingat –ingat
hasil-hasil observasi kita dalam rangka ke pencatatan yang kita pergunakan.
Soal
ketiga ialah mengutamakan kelengkapan gambaran tentang pertumbuhan para siswa
dalam kecakapan yang kita ajarkan . Artinya jumlah yang akan kita tetapkan
mengenai evaluasi yang akan kita tetapkan mengenai evaluasi yang akan kita
adakan dalam jangka waktu satu tahun
harus dihubungkan dengan tujuan memperoleh gambaran yang lengkap
mengenai kemajuan yang akan dicapai oleh para siswa selama jangka waktu setahun
itu .
Jadi
yang penting diperhatikan ialah , bahwa untuk mengambil keputusan mengenai hal
ini kita mempunyai gambaran yang cukup jelas lebih dahulu tentang sifat proses
pertumbuhan yang akan datang pada siswa kita.
Ini
merupakan suatu soal praktis yang banyak sedikitnya biasanya selalu diketahui
oleh setiap pengajar. Dengan merenungkan sedikit sifat materi yang kita ajarkan
biasanya kita akan dapat membangunkan gambaran semacam itu. Pertimbangan lain yang dapat kita masukkan untuk menjawab
persoalan ini ialah fungsi evaluasi sebagai pendorong terhadap para siswa untuk
mempelajari materi yang kita ajarkan .
Pada
seorang evaluator yang sudah cukup terampil dan berpengalaman jumlah evaluasi
yang diadakan itu sebenarnya hampir tidak dapat dihitung oleh karena setiap
kali ia menghadapi siswa-siswanya dalam situasi mengajar ia selalu dapat
melihat kesempatan untuk mengevaluasi salah satu aspek kemajuan yang telah
dicapai oleh siswa-siswanya.
Soal
–soal yang telah kita uraikan diatas dapat merupakan langlkah –langkah
yang dapat dilakukan pada taraf
perencanaan dari tugas evaluasi kita dan dapat mulai dikerjakan pada waktu kita
memulai tugas mengajar . Persiapan-persiapan semacam itu dapat kita sebut
persiapan-persiapan umum . Di samping itu kita masih harus melakukan persiapan
khusus , ialah persiapan – persiapan menuju suatu langkah evaluasi tertentu .
Sukses
atau tidaknya suatu program evaluasi pada hakikatnya turut menentukan oleh baik
tidaknya perencanaan, makin sempurna kita melakukan langkah pokok perencanan ,
makin sedikit kesulitan yang akan kita
jumpai dalam pelaksanaan langkah-langkah berikutnya .
B.
Langkah Pengumpulan Data
Soal
pertama yang kita hadapi dalam melakukan langkah ini adalah menetukan data apa
saja yang kita butuhkan untuk melak ukan tugas evaluasi yang kita hadapi dengan
baik. Soal penentuan data yang harus dikumpulkan untuk keperluan suatu tugas
evaluasi ini berhubungan erat dengan rumusan tentang tugas kita dalam suatu
usaha pendidikan. Rumusan tentang kita sebagai seorang pengajar dalam suatu
usaha pendidikan menghasilkan ketentuan – ketentuan tentang tujuan yang harus
kiata capai dengan materi yang kita ajarkan. Rumus tentang tujuan yang harus
kita capai ini setelah dianalisis menentukan aspek-aspek manakah dari seluruh
pertumbuhan seorang anak-anak sekelompok siswa terutama harus kita perhatikan
dan manakah serta smpai ke taraf manakah pertumbuhan aspek-aspe ini harus kita
arahkan .
Soal
berikut yang kita hadapi ialah menentukan cara-cara yang harus kita tempuh
untuk memperoleh setiap jenis data yang kita butuhkan. Pemilihan cara yang akan
kita tempuh untuk memperoleh suatu jenis data biasanya ditentukan oleh teori
atau pandangan yang kita atur secara sadar atau tidak. Pemilihan cara atau
metode untuk mengumpulkan suatu jenis data dapat merupakan suatu persoalan yang
rumit dan olah karenanya meminta perkembangan yang sungguh – sungguh dari pihak
yang bersangkutan. Dalam hal ini pengetahuan yang mendalam tentang metodologi
akan merupakan suatu pegangan yang sangat berguna.
Soal
terakhir yang harus kita selesaikan lebih dahulu dalam langkah pengumpulan data
ini ialah pemilihan alat-alat yang kita pergunakan . Untuk penyelesaian soal
ini biasanya pengetahuan mengenai alat-alat yang telah tersedia akan merupakan
suatu pegangan yang sangat berguna .
Untuk Indonesia oleh karena belum lagi kita punya alat – alat yang telah di
standarisasikan maka biasanya soal ini merupakan soal penyusunan atau
konstruksi alat – alat yang kita butuhkan ataupun soal penyaduran alat – alat
yang telah ternyata kebaikannya di negeri – negeri lain.
Usaha
menyadur alat – alat semacam itu tetap merupakan suatu usaha yang sukar dan hal
ini terutama disebabkan oleh belum lengkapnya data buku ( basic - date)mengenai
bermacam – macam persoalan yang bersifat kultural di Indonesia. Untuk dapat
melakukan usaha penyaduran ini dengan sebaik – baiknya lebih dahulu perlu di
adakan ( basic – reserch ). Selama hal ini belum dilakukan , usaha – usaha
penyaduran akan lebih banyak merupakan
usaha coba – coba tanpa suatu landasan yang cukup kokoh.
Kalau
ketiga persoalan yang telah disebutkan dipikirkan dengan baik-baik , maka yang
masih dilakukan tinggallah pelaksanaan dari segenap keputusan yang telah
dipikirkan tadi. Mengenai soal ini tidak akn teardapat kesukaran – kesukaran
yang berarti aapabila pemikiran terhadap soal - soal yang telah dikemukakan
tadi betul – betul dilakukan secara saksama.
C.
Langkah
Penelitian Data
Data
yang telah tekumpul harus disaring lebih dahulu sebelum diolah lebih lanjut.
Proses penyringan ini disebut verifikasi data dan maksudnya ialah data yang “baik” yang akan dapat memperjelas
gambaran yang akan kita peroleh mengenai individu atau sekelompok individu yang
sedang kita evaluasi , dari data yang kurang baik yang hanya akan merusak atau
mengaburkan gambaran yang akan kita peoleh apabila turut kita olah juga.
Seperti
telah disebutkan pula dalam permulaan. Data yang terutama membutuhkan
verifikasi iaalah data yang kita terima dari ppihak lain mengenai orang yang
sedang dievaluasi jadi bukan data yang kita peroleh sebagai hasil observasi
kita sendiri terhadap sebagai hasil pemeriksaan kita sendiri terhadap orang
yang sedang dievakuasi tadi.
Bahwa
panjang- pendeknya suatu langkah penelitian terhadap sekumpulan data ditentukan
oleh berbagai faktor. Adakalanya proses penelitian itu berlangsung sebentar
saja, sebaliknya ada kalanya pula sekumpulan data memerlukan proses verifikasi
yang panjang untuk mengetahui tingkat ” kebaikan “ yang dimilikinya. Data yang
tidak diverifikasi dapat merusak atau mengacaukan gambaran yang kita peroleh
mengenai orang yang dievaluasi.
Keadaan
semacam ini menyebabkan kita tidak akan dapat
mencapai tujuan pekerjaan evaluasi dan memperoleh gambaran yang sebanyak
mungkin mendekati keadaan yang sebenarnya pada orang yang sedang kita evaluasi.
Dalam keadaan – keadaan tertentu ketidaksanggupan untuk mengmbil keputusan
dengan segera inipun meruoakan suatu hal yang berbahaya.
Data
yang membutuhkan verifikasi ini ialah data yang kita terima dari pihak lain
mengenai orang yang sedang dievaluasi jadi bukan data yang kita peroleh sebagai
hasil observasi kita sendiri terhadap orang yang sedang dievaluasi.
Untuk
menentukan perlu atau tidaknya suatu kumpulan data diverifikasi lagi , ada dua
pegangan umum yang selalu dapat kita gunakan , yaitu ketentuan yang dapat kita
peroleh tentang sumber data dan logika yang tampak “menjiwai” data yang kita
hadapi.
Cara
pertama merupakan analisis rasional terhadap bahan ujian , sedangkan cara kedua
merupakan analisis empiris terhadap bahan ujian. Dalam beberapa hal sering
dirasakan perlu untuk mengadakan kedua jenis analisis tadi sekaligus. Dengan
mengadakan analisis semacam ini dapat kita mengetahui benar atau tidaknya
dugaan kita.
Dengan
contoh yang diberikan diatas menjadi jelas bahwa bagaimana cara berpikir yang
dapat kita tempuh untuk menentukan perlu atau tidaknya verifikasi terhadap
sekumpulan data.
D.
Langkah Pengolahan Data
Langkah pengolahan data dilakukan
untuk memberikan “makna” terhadap data yang ada pada kita . Jadi hal ini
berarti bahwa tanpa kita olah , dan diatur lebih dulu data itu sebenarnya tidak
dapat menceritakan suatu apapun .
Arti atau makna yang sebenar-benarnya
baru akan kita lihat / peroleh kalau terhadap keterangan-keterangan yang datang
dari berbagai pihak , kita adakan pengolahan dalam arti kita gabungkan , kita
satu-satukan yang kita anyam seolah olah-olah kita kombinasikan bermacam-macam
cara.
Sering seseorang memiliki data yang
cukup lengkap tentang seorang murid atau sekelompok murid yang bsedang
dievaluasinya tetapi karena ia kurang pandai mengola data yang dimilkinya tadi
tidak banyaklah arti atau makna yang dapat dikeluarkannya dari datanya.
Dalam atau dangkalnya makna yang dapat
kita ‘keluarkan’ dari suatu kumpulan data bergantung kepada lengkap atau
tidaknya yang kita punyai dan juga kepada cara pengolahan yang kita pergunakan.
Pengolahan yang baik terhadap suatu
data menghasilkan makna yang baru yang tidak akan dapat ditarik ke luar apabila
data tadi hanya dipandang “secara mentah saja” . Pengolahan yang dapat kita
lakukan terhadap suatu kumpulan data ditentukan pula oleh “kecerdikan “ kita
peroleh taraf “resourcefulness of mind” yang ada pada kita dan kecerdikan ini kita pupuk.
Pengolahan ststistik dapat dilakukan
terhadap suatu kumpulan data. Dalam literatur lazim disebut dengan istilah
analisis statis. Tetapi pengolahan statis itu hanya dapat diperlihatkan
terhadap data yng dinyatakan secara kuantitatif saja, yaitu data yang
dinyatakan dengan angka – angka. Data yang dinyatakan secara verbal atau dengan
kata- kata tidak dapat diolah secara statistik. Kalau data semacam itu hendak
diolah juga secara statistik maka data tadi harus dikonversikan dahulu yyaitu
diubah lebih dahulu menjadi data numerik atau data yang bersifat non-statistik.
Ada bermacam-macam jenis pengolahan
yang dapat dilihat bahwa ada bemacam-macam jenis pengolahan yang dapat
dilakukan terhadap sekumpulan data. Pengolahaan yangkita hadapi sebagai seorang
evaluator ialah menentukan pengolahan mana sajakah yang harus kita lakukan
terhadap sekumpulan data pada saat- saat tertentu.
Pengolahan yang harus kita lakukan
antara lain ditentukan makna yang segera kita kehendaki dari sekumpulan data.
Dan kepandaian menentukan atau melihat masalah merupakan soal kecendekiawan
soal “resourcefulness of mind”.
Fungsi pengolahan data dalam proses
evaluasi yang perlu disadari benar – benar ialah untuk memperoleh gambaran yang
selengkap-lengkapnya tentang diri orang yang sedang dievaluasikan langkah
pengolahan data ini merupakan keharusan.
E.
Langkah Penafsiran Data
Memisahkan langkah
penafsiran dari langkah pengolahan sebenarnya merupakan suatu pemisahan yang
terlalu dibuat-buat. Memang dalam praktek kedua langkah ini tidak dapat
dipisah-pisahkan kalau kita melakukan suatu pengolahan terhadap sekumpulan data
, dengan sendirinya kita akan memperoleh “tafsir” makna data yang kita hadapi.
Dalam merumuskan tafsiran kesukaran
yang sering dihadapi oleh para petugas evaluasi ialah kesukaran dalam
penyusunan kalimat yang tepat sehingga apa yan kemudian dinyatakan oleh kalimat
itu tidak melampoaui atau mengurangi batas kebenaran yang terddapat dalam data
yang telah diolah. Kesalahan yang lebih sering terjadi ialah kesalahan pertama
yaitu bahwa rumusan tafsiran melebihi
daerah kebenarannya yang tersimpul dalam data yang ada .
Kesalahan semacam ini lazim juga
disebut overstatement yaitu rumusan yang tidak cukup didukung oleh data yang
ada . Kesalahan yang berbentuk overstatement ini tidak selamanya disebabkan
oleh kekurangan ketelitiaan dalam merumuskan tafsiran saja. Sering kali pula
terjadi bahwa benih untuk melakukan overstatement ini telah terdapat dalam langkah-langkah
sebelumnya .
Dalam pekerjaan evaluasi dan juga dalam pekerjaan ilmiah
yang harus kita buang jauh-jauh” wishfullthinking” kita. Bahaya lain yang
merupakan lawan dari overstatement ialah understatement. Kesalahan ini kita
lakukan apabila kita tidak berani mengatakan dengan tegas segenap makna yang
telah nyata tersimpul mengatakan dalam data yang telah kita olah tadi.
Selanjutnya perlu juga dikatakan disini bahwa kesalahan
dalam bentuk understatement sering dilakukan oleh semata-mata karena orang tadi
tidak dapat melihat makna yang tersirat dari data yang telah dikumpulkannya
tadi : seolah-olah ia buta terhadap arti yang tersimpul dalam data yang
dimilikinya .
Kesalahan “oveerstatement” dapat juga terjadi dalam bentuk
kesimpulan yang terlampau definitif yang sering terjadi bahwa data yang telah
terkumpulkan dan diolah tidak dapat juga memberikan jawaban yang pasti terhadap
suatu masalah evaluasi yang dihadapi tetapi hanya dapat memberikan kemungkinan
(probabilitas) saja.
Selain itu yang harus diperhatikan
juga dalam memberikan interpretasi terhadap data yang telah kita olah tadi
ialah soal komunikasi artinya jika hasil evaluasi itu diberitahukan kepada
orang lain susunan rumusan tafsiran dibuat seemikian hingga agar laporan dapat
dipahami oleh pihak yang harus membaca laporan .
Jelaslah hendaknya bahwa setiap
langkah yang kita sebutkan kini mempunyaifungsi yang vital dalam keseluruhan
proses evaluasi . evaluasi yang banyak hanya akan terjadi apabila
prinsip-prinsip yang telah diuraikan setiap langkah tadi betul-betul
diperhatikan.
F.
Langkah Meningkatnya Daya Serap Peserta Didik
Hasil pengukuran memiliki fungsi utama
untuk memperbaiki tingkat penguasaan peserta didik . Hasil pengukuran secara
umum ialah :
a.
Memperjelas
tujuan instruksional
Peserta didik pada awal
pembelajaran sudah mengetahui arah dan tujuan yang ingin dikuasainya.
Diharapkan dalam pembelajaran , peserta didik dan pendidik berupaya untuk mencapai
tujuan tersebut. Ini berarti kedua belah pihak secara bersama-sama ingin
berhasil mencapai apa yang direncanakan. Keberhasilan ini dapat diketahui
setelah dilaksanakan pengukuran.
Dalam pembelajaran tujuan
intruksional harus dikaitkan dengan berbagai metode yang memungkinkan tujuan
tersebut mendalami materi dan peningkatan proses berpikir, penanaman nilai dan
ketrampilan.
b.
Penilaian
awal yang menentukan kebutuhan peserta didik.
Penilaian awal ini bentuknya dapat
dengan mempelajari catatan kemajuan dari sekolah asal,sebelum peserta didik
mengikuti program yang dikembangkan dan atau melalui tes awal (pre-test) yang
dikembangkan untuk mengetahui tingkat penguasaan peserta tentang materi yang
akan diberikan.
Dengan mempelajari catatan kemajuan
atau perkembangan pribadi yang dibuat sekolah awal , petugas dapat
memilah-milah program yang cocok untuk orang bersangkutan .
Tes awal dapat digunakan sebagai
pelengkap atas catatan kemajuan yang diterima dari sekolah , atau satu-satunya
sumber yang dapat digunakan untuk merancang program yang sesuai dengan
kemampuan peserta didik .
c.
Memonitor
kemajuan peserta didik.
Monitoring kemajuan peserta didik
selama proses pembelajaran bertujuan untuk mengarahkan peserta didik pada jalur
yang membawa hasil-hasil belajar yang maksmal.Monitoring dilaksanakan secara
berkesinambungan dan terus menerus . Pertanyaan lisan atau tulisan yang
diberikan pada waktu proses belajar-mengajar merupakan kegiatan yang mencek
kemajuan atau pemahman peserta didik . Biasanya pertanyaan semacam ini dikenal
dengan nama tes formatif. Dengan hasil tes formatif mudah diketahui tujuan
intruksional yang mana yang belum.
G.
Laporan Hasil Penelitian
Laporan ini akan memberikan bukti sejauh
mana tujuan pendidikan yang diharapkan
oleh anggota masyarakat khususnya orang tua peserta didik dapat
tercapai.Pemberian informasi ini dapat berupa laporan umum dan laporan khusus
tentang prestasi yang dicapai oleh sekolah . Dikatakan laporan umum karena informasi tersebut
terbuka untuk siapa saja yang berminat dengan sasaran utamanya adalah orang
tua, anak didik dan masyarakat di sekitar sekolah . sedangkan laporan khusus
disampaikan hanya pada orang tua dan peserta didik , karena laporan ini banyak
menyangkut masalah pribadi yang tabu untuk diketahui oleh orang lain.
a. Laporan Kemajuan Umum
1. Laporan kemajuan umum yang berbentuk
kemajuan fisik dapat dilaksanakan melalui berbagai kegiatan seperti pameran dan
pertandingan pameran diisi dengan:
a. Menunjukkan karya ilmiah peserta didik
selama waktu tertentu.
b. Menunjukkan karya seni,baik seni
lukis,seni tari,seni drama,dan sebagainya.
c. Mengadakan pertunjukan olah raga,baik
dalam bentuk pertandingan maupun dalam
bentuk hiburan.
2. Laporan kemajuan umum yang berbentuk
media,selain laporan resmi kepala sekolah kepada atasannya yang ditulis
rutin,juga perlu dikembangkan laporan yang dapat dibaca masyarakat dalam bentuk
media cetak maupun elektronik.
Laporan
kemajuan ini hendaknya menunjukkan berbagai kemajuan yang telah dicapai dalam
rentang waktu beberapa tahun. Dengan melihat pameran ini dapat dilihat oleh
pengunjung apa yang telah dicapai tahun – tahun sebelumnya dan kelebihan apa
yang dicapai pada tahun terakhir.
b. Laporan Kemajuan Khusus
Laporan
ini pada umumnya bersifat pribadi,karena menyangkut diri pribadi peserta didik
dan orang tuanya.Paling tidak ada 2 jenis wadah yang dapat digunakan untuk
menyampaikan laporan ini yaitu melalui:
1. Pertemuan dengan orang tua peserta
didik.
Pertemuan
pendidik atau guru dengan orang tua peserta didik merupakan kegiatan yang tidak
terpisahkan dengan buku rapor peserta didik. Dengan adanya pertemuan tatap muka
ini kedua belah pihak akan membagi saling melengkapi informasi tentang pribadi
peserta didik. Melalui pertemuan ini ,masalah yang dihadapi di sekolah ataupun
yang terjadi dirumah akan dapat dicari jalan keluarnya demi keberhasilan
peserta didik.di sekolah dasr pertemuan semacam ini sangat penting dan harus
dilaksanakan secara teratur. Ditingkat sekolah menengah pertemuan orang tua
dengan guru tidak sesering pertemuan disekolah dasar.
2. Buku laporan kemajuan atau buku rapor.
Kalau
pada laporan kemajuan umum telah dipamerkan kegiatan atau hasil kegiatan
individual atau hasil kegiatan kelompok yang menyangkut npengembangan ranah
kognitif ( proses berpikir), ranah psikomotoris (ketrampilan manual), maupun
ranah afektif (apresiasi, kecermatan, ketelitian, kerjasama, kreatifitas dan
sebagainya), maka seharusnya dalam buku rapor ketiga ranah ini9 dilaporkan
kemajuannya bagi setiap peserta didik. Dapat disimpulkan bahwa :
a. Peserta didik dan orang tua tidak
melihat kemajuan dalam ranah psikomotoris.
b. Peserta didik dan orang tua tidak
melihat kemajuan dalam ranah afektif.
PERINGKAS
DEWI
KOMARIYAH
NIM. 105602
BAB VII
ANALISIS BUTIR-BUTIR INSTRUMEN EVALUASI
A. Menilai Tes yang
Dibuat Sendiri
Tidak ada usaha guru yang lebih baik selain
usaha untuk selalu meningkatkan mutu tes yang disusunnya. Akan tetapi masih
banyak guru yang menyepelekan hal tersebut. Bahkan guru yang sudah
berpengalaman sekalipun masih belum menyadari bahwa tesnya masih belum
sempurna. Oleh karena itu cara yang paling baik adalah secara jujur melihat
hasil tes yang diperoleh oleh siswa.
Secara teoritis, siswa dalam satu kelas
merupakan populasi atau kelompok yang keadaannya heterogen. Dengan demikian
maka apabila dikenal sebuah tes akan tercermin hasilnya dalam suatu kurva
normal. Jika hasil tes tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, maka tes itu
ada sesuatu kekurangan. Apabila banyak siswa yang memperoleh skor jelek maka
tes tersebut soalnya terlalu sulit, sebaliknya jika seluruh siswa mendapat
nilai baik maka tes tersebut terlalu mudah.
Dengan demikian maka apabila kita memperoleh
keterangan tentang hasil tes, akan membantu kita dalam mengadakan penilaian
secara objektif terhadap tes yang kita susun.
Ada 4 cara untuk menilai
tes, yaitu :
a. Cara pertama menliti secara jujur soal-soal yang sudah disusun,
kadang-kadang dapat diperoleh jawaban tentang ketidakjelasan perintah atau
bahasa, taraf kesukaran dan lain-lain keadaan soal tersebut.
Pertanyaan-pertanyaan
tersebut antara lain:
1. Apakah pertanyaan soal untuk tiap topik sudah seimbang?
2. Apakah semua soal menanyakan bahan yang telah diajarkan?
3. Apakah soal yang kita susun tidak merupakan pertanyaan yang
membingungkan (dapat disalah artikan)?
4. Apakah soal itu tidak sukar untuk dimengerti?
5. Apakah soal itu dapat dikerjakan oleh sebagian besar siswa?
b. Cara kedua adalah mengadakan analisis soal. Analisis soal adalah
suatu prosedur yang sistematis, yang akan memberikan informasi-informasi yang
sangat khusus terhadap butir tes yang kita susun.
c. Cara ketiga adalah mengadakan checking validitas. Validitas yang
paling penting dari tes buatan guru adalah validitas kurikuler. Untuk
mengadakan checking validitas kurikuler, kita harus merumuskan tujuan setiap
bagian pelajaran secara khusus dan jelas sehingga setiap soal dapat kita
jodohkan dengan setiap tujuan khusus tersebut.
Tes yang tidak
mempunyai validitas kurikuler atau walaupun mempunyai tetapi kecil, maka dapat
juga terjadi jika salah satu atau beberapa tujuan khusus tidak dicantumkan
dalam tabel spesifikasi. Semakin banyak tujuan khusus yang tidak dicantumkan,
berarti bahwavaliditas kurikulernya semakin kecil.
d. Cara keempat adalah dengan mengadakan checking reabilita. Salah
satu indikator untuk tes yang mempunyai realibilitas yang tinggi adalah bahwa
kebanyakan dari soal-soal tes itu mempunyai daya pembeda yang tinggi.
B. Analisis Butir-Butir
Soal
Analisis soal antara
lain bertujuan untuk mengadakan identifikasi soal-soal yang baik, kurang baik
dan soal yang jelek. Dengan analisis soal dapat diperoleh informasi tentang
kejelekan sebuah soal dan petunjuk mengadakan perbaikan.
Untuk mengadakan
perbaikan, ada tiga masalah yang harus diperhatikan yaitu: taraf kesukaran,
daya pembeda, dan pola jawaban soal.
a. Taraf kesukaran
Soal yang baik
adalah soal yang tidak terlalu mudah atau tidak terlalu sukar. Soal yang
terlalu mudah tidak merangsang siswa untuk mempertinggi usaha memecahkannya.
Sebaliknya soal yang terlalu sukar akan menyebabkan siswa menjadi putus asa dan
tidak mempunyai semangat untuk mencoba lagi karena di luar jangkauannya.
Bilangan yang
menunjukkan sukar dan mudahny sesuatu soal disebut indeks kesukaran. Besarnya
indeks kesukaran antara 0,00 sampai dengan 1,0. Indeks kesukaran ini
menunjukkan taraf kesukaran soal. Soal dengan indeks kesukaran 0,0 menunjukkan
bahwa soal itu terlalu sukar, sebaliknya indeks 1,0 menunjukkan bahwa soalnya
terlalu mudah.
Di dalam istilah
evaluasi, indeks kesukaran ini diberi simbol P(p besar), singkatan dari kata
“proporsi”. Jika ada soal dengan P = 0,70 lebih mudah jika dibandingkan dengan
soal dengan P = 0,20. Sebaliknya soal denga P = 0,30 lebih sukar daripada soal
dengan P = 0,80.
Rumus mencari P
adalah :
P =
Ket :
P = Indeks
kesukaran.
B = Banyaknya siswa
yang menjawab soal itu dengan betul.
JS = Jumlah seluruh
siswa peserta tes.
Menurut ketentuan
yang sering diikuti, indeks kesukaran sering diklasifikasikan sebagai berikut :
·
Soal dengan P 1,00
sampai dengan 0,30 adalah soal sukar.
·
Soal dengan P 0,30
sampai dengan 0,70 adalah soal sedang.
·
Soal dengan P 0,70
sampai dengan 1,00 adalah soal mudah.
Walaupun demikian
ada yang berpendapat bahwa : soal-soal yang dianggap baik, yaitu soal-soal
sedang, adalah soal-soal yang mempunyai indeks kesukaran 0,30 sampai dengan
0,70. Jika dari pengikut ujian banyak, kita menghendaki yang lulus hanya
sedikit, kita ambil siswa yang paling top. Untuk ini maka lebih baik diambilkan
butir-butir tes yang sukar. Sebaliknya jika kekurangan pengikut ujian, kita
pilihkan soal-soal yang mudah. Selain itu, soal yang sukar akan menambah gairah
belajar bagi siswa yang pandai, sedangkan soal-soal yang terlalu mudah akan
membangkitkan semangat kepada siswa yang lemah.
b. Daya pembeda
Daya pembeda soal,
adalah kemampuan sesuatu soal untuk membedakan antara siswa yang pandai (berkemampuan
tinggi) dengan siswa yang bodoh (berkemampuan rendah). Angka yang menunjukkan
besarnya daya pembeda disebut indeks diskriminasi, indeks ini berkisar antara
0,00 sampai dengan 1,00. Perbedaan indeks diskriminasi dengan indeks kesukaran
adalah indeks kesukaran tidak mengenal tanda negatif (-), tetapi pada indeks
diskriminasi ada tanda negatif. Tanda negatif pada indeks diskriminasi
digunakan jika sesuatu soal “terbalik” menunjukkan kualitas testee. Yaitu anak
pandai disebut bodoh dan anak bodoh disebut pandai.
Bagi sesuatu soal
yang dapat dijawab benar oleh siswa pandai maupun siswa bodoh, maka soal itu
tidak baik karena tidak mempunyai daya pembeda. Dalam istilah evaluasi, indeks
diskriminasi ini diberi simbol D(d besar).
Cara menentukan daya
pembeda (nilai D) :
Untuk ini perlu
dibedakan antara kelompok kecil (kurang dari 100) dan kelompok besar (100 orang
ke atas).
a) Untuk kelompok kecil.
Seluruh kelompok testee dibagi dua sama
besar, 50% kelompok atas dan 50% kelompok bawah.
b) Untuk kelompok besar.
Mengingat biaya dan waktu untuk
menganalisis, maka untuk kelompok besar biasanya hanya diambil kedua kutubnya
saja, yaitu 27% skor teratas sebagai kelompok atas (JA) dan 27% skor terbawah
sebagai kelompok bawah (JB).
JA = Jumlah Kelompok Atas.
JB = Jumlah Kelompok Bawah.
Rumus mencari D
adalah :
D =
Ket :
J = Jumlah peserta
tes.
=
Banyaknya peserta kelompok atas.
=
Banyaknya peserta kelompok bawah.
=
Banyaknya peserta kelompok atas yang menjawab soal dengan benar.
=
Banyaknya peserta kelompok bawah yang menjawab soal dengan benar.
=
= Proporsi peserta
kelompok atas yang menjawab benar (ingat, P sebagai indeks kesukaran).
=
= Proporsi peserta
kelompok bawah yang menjawab benar.
Butir-butir soal
yang baik adalah butir-butir soal yang indeks diskriminasinya berkisar antara
0,4 sampai dengan 0,7.
c. Pola jawaban soal
Yang dimaksud pola
jawaban di sini adalah distribusi testee dalam hal menentukan pilihan jawaban
pada soal bentuk pilihan ganda. Pola jawaban soal diperoleh dengan menghitung
banyaknya testee yang memilih pilihan jawaban a, b, c, d, atau yang tidak
memilih pilihan manapun (blangko). Dalam istilah evaluasi disebut omit,
disingkat O.
Dari pola jawaban
soal dapat ditentukan apakah pengecoh (distractor) berfungsi sebagai pengecoh
dengan baik atau tidak. Pengecoh yang tidak dipilih sama sekali oleh testee
berarti bahwa pengecoh itu jelek, terlalu menyolok menyesatkan. Sebaliknya
sebuah pengecoh dapat dikatakan berfungsi dengan baik apabila pengecoh tersebut
mempunyai daya tarik yang besar bagi pengikut-pengikut tes yang kurang memahami
konsep atau kurang menguasai bahan.
Dengan demikian pola
jawaban soal dapat diketahui:
(1) Taraf kesukaran soal.
(2) Taraf pembeda soal.
(3) Baik tidaknya distraktor.
Sesuatu distraktor dapat diperlakukan
dengan 3 cara:
a) Diterima, karena sudah baik.
b) Ditolak, karena tidak baik.
c) Ditulis kembali, karena kurang baik.
Kekurangannya
mungkin hanya terletak pada rumusan kalimatnya sehingga hanya perlu ditulis
kembali, dengan perubahan seperlunya.
BAB VIII
INTERPRETASI NILAI
EVALUASI
A.
Merencanakan
Evaluasi
Setelah menetapkan tujuan pengajaran, maka kita
perlu mengetahui tercapai tidaknya tujuan tersebut. Oleh sebab itu dibutuhkan
cara mengevaluasi atau cara mengetes, yaitu cara mengukur kemampuan murid
setelah proses belajar mengajar selesai.
Pertama yang harus menjadi titik perhatian
ialah bahwa cara dan alat evaluasi itu ditentukan oleh isi TIK (Tujuan
Intruksional Khusus). TIK yang dirumuskan dengan benar pasti dapat menunjukkan
cara dan alat evaluasi yang efektif dan efisien. TIK itu berisi salah satu dari
tiga kemungkinan: mengenai pemahaman (kognitif), penerimaan sikap (afektif),
dan keterampilan (psikomotor). Karena itu tesnya pun harus sesuai dengan isi
itu, tes pengetahuan, tes sikap dengan skala sikap, tes keterampilan dengan tes
tindakan.
Tes untuk mengukur berapa banyak atau berapa
persen tujuan dicapai setelah satu kali mengajar adalah tes yang paling sempit
cakupannya. Tes ini disebut dengan istilah posttest atau tes akhir. Disebut tes
akhir karena sebelum memulai pengajaran kadang-kadang guru mengadakan tes awal
atau pretest. Pretest ialah tes yang dilakukan setelah guru menyelesaikan satu
lesson plan. Jika satu lesson plan memerlukan waktu 7 x 10 menit, maka
rata-rata 15 menit digunakan untuk menyelenggarakan posttest.
Kegunaan
tes ini terutama ialah untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam
memperbaiki lesson plan. Dalam hal ini hasil tes tersebut disajikan umpan balik
(feedback) dalam meningkatkan mutu pelajaran. Patokan yang digunakan ialah bila
nilai yang diperoleh siswa paling rendah rata-rata 75 dan tidak ada siswa yang
memperoleh nilai di bawah 60, maka
lesson plan itu dianggap tidak perlu direvisi. Akan tetapi kekurangan dari ini
adalah terkadang pelaksanaannya menghabiskan banyak waktu.
Post test dapat ditujukan kepada sebagian
siswa saja sebagai sampel. Bila jumlah siswa 40 misalnya, sampel cukup diambil
dari 10 atau 20 saja, dengan teknik random. Dari tes terhadap sampel ini anda
akan memperoleh nilai rata-rata yang diperoleh siswa. Angka rata-rata ini hanya
digunakan sebagai umpan balik bagi perbaikan lesson plan, tidak dapat digunakan
untuk rapor.
Penilaian yang pasti digunakan untuk angka
rapor ialah tes akhir bulan, yang mencakup bahan yang agak luas kira-kira isi
empat lesson plan, tes ini (juga tes harian) disebut tes pormatif. Sama dengan
tes lainnya tes ini ditujukan kepada seluruh daerah binaan, yaitu kognitif,
afektif, dan psikomotor.
Penilaian yang secukupnya lebih luas ialah tes
sumatif. Tes ini mengukur penguasaan bahan pengajaran sejak awal kurikulum yang
bersangkutan sampai dengan bahan pengajaran terakhir yang dipelajari. Pada tes
sumatif daerah pengujian biasanya hanya mencakup aspek kognitif dan afektif.
Tes ditujukan kepada seluruh siswa bukan sampel. Nilai akhir ditentukan dengan
cara menjumlahkan rata-rata nilai tes formatif (bulanan) ditambah dengan nilai
tes sumatif kemudian dibagi dua atau (Mf + S) : 2. Mf adalah rata-rata tes
formatif; S adalah nilai sumatif.
Nilai akhir ini digunakan untuk mengisi
rapor, nilai kenaikan kelas, atau digunakan untuk nilai dalam ijasah.
Konsep utama dalam hal evaluasi ialah
bahwa evaluasi haruslah terus menerus dan menyeluruh. Terus menerus diterapkan
dalam bentuk menyelenggarakan tes harian (pos test), tes harian (test
formatif), dan tes akhir program (tes sumatif); menyeluruh diterapkan dengan
menyelenggarakan pengetesan yang ditujukan kepada seluruh daerah binaan
(kognitif, afektif, psikomotor); psikomotor itu mencakup aspek keterampilan
melakukan dan melakukannya dalam kehidupan (pengamalan).
Khusus untuk bidang studi agama Islam,
bila pengamalan dievaluasi, dapat disarankan penentuan nilai akhir sebagai
berikut:
Ket :
Mf = rata-rata formatif
S = Sumatif
P = Nilai pengamalan
B.
Menentukan
Entering Behavior
Entering behavior adalah gambaran tentang
kesiapan siswa tersebut. Kesiapan yang paling penting diketahui guru ialah
kesiapan siswa dalam hal pengetahuan dan keterampilan dihubungkan dengan tujuan
pengajaran. Karena entering behavior mampu menjelaskan kapan pengajaran harus
dimulai. Secara keseluruhan ada empat hal yang harus diperhitungkan dalam
menentukan entering behavior siswa.
1. Masalah Kesiapan
Ini yang pertama dan yang paling utama. Jika
tujuan pengajaran (TIK) anda umpamanya agar siswa mampu mempraktekkan fi’liah
Shalat Subuh, maka entering behaviornya sekurang- kurangnya ialah siswa sudah
mengetahui jumlah seluruh shalat wajib mengenai macam-macam serta namanya,
mengetahui jumlah rakaat Shalat Subuh, mengetahui bacaan-bacaannya.
Teknik yang paling mudah dalam menentukan
kesiapan ialah menyelenggarakan pretest. Ini pretest dini bukan mengenai bahan
yang akan diajarkan melainkan mengenai bahan yang mendahuluinya
(prerequisite-nya). Tes mengenai penguasaan bahan dapat mempermudah siswa
mempelajari bahan yang akan diajarkan, dalam hal ini Shalat Subuh. Dengan kata
lain, pretest dilakukan terhadap bahan prerequisite Shalat Subuh.
2. Hal Kematangan
Ini adalah konsep yang menyangkut keadaan
biologis dan psikologis yang sering disebut dengan istilah masa peka. Entering
behavior siswa yang menyangkut kematangan dapat ditetapkan dengan cara
mengajukan pertanyaan. Apakah sudah tepat waktunya dengan cara mengajarkan
bahan ini kepada siswa ini? Dalam hal contoh kita tadi: Apakah sudah tepat
waktunya fi’liah Shalat Subuh diajarkankepada siswa ini? Jawaban pertanyaan itu
akan menetukan entering behavior siswa yang menyangkut kematangan untuk
mempelajari fi’liah Shalat Subuh.
Kesiapan dan kematangan merupakan dua
pertimbangan entering behavior yang mata erat hubungannya. Siswa yang belum
matang (peka) tentu saja belum siap, tetapi siswa yang belum siap mungkin saja
sudah matang.
3. Perbedaan Individu
Dalam pengajaran agama Islam, sebagaimana juga
dalam pengajaran bidang studi lainnya, guru harus mempertimbangkan perbedaan
individu. Ini adalah salah satu ciri pengajaran modern yang menganggap manusia
adalah makhluk individual, yang tidak dapat diperlakukan dengan cara yang sama.
Perbedaan individu itu banyak seginya. Yang penting dalam menentukan entering behavior siswa dalam pengajaran
agama Islam ialah perbedaan umum, jenis kelamin, dan perbedaan paham keagamaan.
Keadaan umum siswa jelas harus dipertimbangkan dalam menentukan entering behavior siswa dalam pengajaran
agama Islam. Pengajaran agama Islam agak berbeda dengan pengajaran bidang studi
lainnya. Pengajaran agama Islam mengenal pemilihan bahan berdasarkan prioritas
dari segi waktu. Ini disebabkan oleh adanya ajaran Islam wajib dan sunnah,
haram dan halal. Yang wajib didahulukan dari yang sunnah, yang halal dipakai
dan yang haram ditinggalkan. Jadi yang wajib dan yang jelas harus segera atau
didahulukan diajarkan kepada siswa. Mereka harus secepatnya mengetahui aturan
itu, agar mereka dapat segera mengerjakan ajaran yang wajib dan menghindari
haram.
Di Indonesia ini perbedaan paham keagamaan itu
dalam garis besarnya dapat dibagi dua, yaitu golongan tradisional dan golongan
modernis. Ini adalah dua istilah yang digunakan sekadar untuk mempermudah
penulisan, tanpa mempertanggung jawabkan penggunaan itu. Indikator
masing-masing golongan itu cukup banyak. Yang mudah dilihat ialah pada umumnya
golongan tradisional mengajarkan perlunya ushalli dalam shalat, modernis pada
umumnya tidak mengajarkan demikian.
Pertimbangan perbedaan paham tersebut juga akan
mempengaruhi pemilihan materi pengajaran, bentuk interaksi, evaluasi, dan lain-lain.
Anda tidak bijak mengajarkan ushalliitu sunah di hadapan siswa yang berasal
dari darigolongan modernis, atau mengajarkan ushalli itu bid’ah di depan
golongan tradisional. Itu mengenai pemilihan bahan pengajaran (materi). Dalam
metode interaksi, anda akan memperoleh bentuk tertentu dalam pengajaran
hisabmenentukan tanggal satu Ramadhan dan akhir Ramadhan, bila anda telah
mengetahui bahwa murid anda sebagian berasal dari golongan tradisional dan
sebagian lainnya dari golongan modernis.
Golongan tradisional dan sebagian lainnya dari
golongan modernis. Golongan modernis akan amat menyenangi bahan itu, golongan
tradisional akan kurang menghayatinya. Tetapi bila anda menggunakan metode yang
tepat, kedua golongan itu akan menyenanginya. Bagaimana cara mengetahui
perbedaan paham itu. Dengan mengetahui latar belakang paham orang tuanya, anda
akan dapat memperkirakan dari golongan mana murid itu datangnya. Tentang ini
catatlah dua hal penting; (1) Anda adalah guru agama Islam, bukan guru bagi
golongan, dan (2) Perbedaan paham itu harus anda pertimbangkan benar-benar
dalam menetukan entering behavior siswa.
4. Perbedaan Individu Siswa
Hubungan antara susunan kepribadian siswa
yang bermacam-macam dengan entering behavior ialah entering behavior itu merupakan keputusan kita tentang hubungan
keadaan kepribadian itu dengan tujuan pengajaran yang hendak dicapai. Dalam
operasinya, pengetahuan kita tentang keadaan kepribadian siswa akan mengilhami
keputusan kita mengenai entering behavior
siswa.
Tujuan entering
behavior siswa ialah agar guru dapat menyelesaikan pengajaran yang efektif
dan efisien. Keputusan kita tentang entering
behavior siswa akan menentukan pemilihan materi pengajaran, bentuk
interaksi (metode), pemilihan alat, evaluasi, dan lain-lain.
C.
Beberapa
Skala Penilaian
a. Skala bebas
Ani, seorang pelajar di suatu SMU, pada
suatu hari ia sangat gembira dan berlari kegirangan karena mendapatkan nilai
ulangan 10 pada ulangan Matematika. Padahal pada waktu ulangan, Ani merasa
ragu-ragu mengerjakannya. Rumus yang digunakan sedikit ingat sedikit lupa. Dan
ketika seluruh rumus hampir teringat, waktu yang disediakan telah habis.
Beberapa selesai soal itu dikerjakan kertas ulangan itu harus dikumpulkan.
Setelah tiba di luar kelas, Ani
berdiskusi dengan kawan-kawannya. Ternyata cara mengerjakan dan pendapatnya
tidak sama dengan yang lain. Tetapi mereka juga tidak yakin mana yang betul.
Oleh karena itu ketika kertas ulangan dikembalikan dan ia mendapat 10, ia
kegirangan. Ditunjukkannya kertas itu kepada kawan-kawannya. Baru sampai
bertemu dengan 4 kawannya, wajahnya sudah menjadi malu tersipu-sipu. Apa sebab?
Rupanya ia menyadari kebodohannya karena setelah melihat angka yang diperoleh
keempat orang kawannya, ternyata yang mendapat nilai 15, 20 bahkan ada yang
mendapat 25. Dan kata guru, pekerjaan Tika yang mendapat nilai 25 itulah yang
betul.
Dari gambaran ini napak bahwa dalam
pikiran Ani, terpancang suatu pengertian bahwa angka 10 adalah angka tertinggi
yang mungkin dicapai. Ini memang lazim. Mungkin bukan hanya Ani saja yang
berpikiran demikian. Padahal pada waktu ulangan Matematika ini, guru memberikan
angka paling tinggi 25 kepada mereka yang dapat mengerjakan seluruh soal dengan
betul. Cara pemberian angka seperti ini tidak salah. Hanya sayangnya, guru
tersebut barangkali perlu menerangkan kepada para siswanya, cara mana yang
digunakan untuk memberikan angka atau skor. Jadi kesimpulannya, skala bebas
adalah skala yang tidak memiliki batasan tertentu atau skala tidak tetap.
b. Skala 1 – 10
Dalam
skala 1 – 10, guru jarang memberikan angka pecahan, misalnya 5,5. Angka 5,5
tersebut kemudian dibulatkan menjadi 6. Padahal angka 6,4 pun akan dibulatkan
menjadi 6. Dengan demikian makarentangan angka 5,5 sampai dengan 6,4 (selisih
hampir satu) akan keluar di rapor dalam satu wajah, yaitu angka 6.
c. Skala 1 – 100
Memang
diseyogiakan bahawa angka itu bilangan bulat. Dengan menggunakan skala 1 – 10
maka bilangan bulat yang ada masih menunjukkan penilaian yang agak kasar. Ada
sebenarnya hasil prestasi yang berada di antara kedua angka bulat itu. Untuk
itulah maka dengan menggunakan skala 1 – 100, dimungkinkan melakukan penilaian
yang lebih halus karena terdapat 100 bilangan bulat. Nilai 5,5 dan 6,4 dalam
skala 1 – 10 yang biasanya dibulatkan menjadi 6, dalam skala 1 – 100 ini boleh
dituliskan dengan 55 dan 64.
d. Skala huruf
Selain
menggunakan angka, pemberian nilai dapat dilakukan dengan huruf A, B, C, D, dan
E (ada juga yang menggunakan sampai dengan G tetapi pada umumnya 5 huruf ini).
Huruf tidak menunjukkan kuantitas, tetapi dapat digunakan sebagai simbol untuk
menggambarkan kualitas. Oleh karena itu dalam mengambil jumlah atau rata-rata,
akan dijumpai kesulitan.
Ada
satu cara yang digunakan untuk mengambil rata-rata dari huruf, yaitu dengan
mentransfer nilai huruf tersebut menjadi nilai angka dahulu. Yang sering
digunakan, satu nilai huruf itu mewakili satu rentangan nilai angka. Sebagai
contoh adalah nilai huruf yang terdapat pada Tabel konversi skor.
Nilai angka dan huruf yang terdapat dalam
buku Petunjuk Kegiatan Akademis IKIP Yogyakarta sebagai berikut :
Angka 100
|
Angka 10
|
IKIP
|
Huruf
|
Keterangan
|
80 – 100
|
8,0 – 1,00
|
8,1 – 10
|
A
|
Baik sekali
|
66 – 79
|
6,6 – 7,9
|
6,6 – 8,0
|
B
|
Baik
|
56 – 65
|
5,6 – 6,5
|
5,6 – 6,5
|
C
|
Cukup
|
40 – 55
|
4,0 – 5,5
|
4,1 – 5,5
|
D
|
Kurang
|
30 – 39
|
3,0 – 3,9
|
3,0 – 4,0
|
E
|
Gagal
|
Dengan mengembalikan dahulu nilai huruf itu ke nilai angka, maka
dengan mudah dapat dicari rata-ratanya.
D. Distribusi Nilai
Distribusi nilai
yang dimiliki oleh siswa-siswanya dalam suatu kelas didasarkan pada dua macam
standar :
a. Standar mutlak
Dengan dasar bahwa
hasil belajar siswa dibandingkan dengan sebuah standar mutlak atau dalam hal
ini skor tertinggi yang diharapkan, maka tingkat penguasaan siswa akan terlihat
dalam berbagai bentuk kurva. Apabila soal-soal ulangan yang dibuat oleh guru
sangat mudah, sebagian siswa akan dapat berhasil mengerjakan soal-soal itu, dan
tingkat pencapaiannya tinggi. Sebaliknya apabila soal-soal tes yang disusun
oleh guru termasuk soal sukar, maka tingkat pencapaiannya rendah.
b. Standar relatif
Telah diterangkan di depan bahwa dalam
menggunakan standar relatif atau norm-referenced,
kedudukan seseorang selalu dibandingkan dengan kawan-kawannya dalam kelompok.
Dalam hal ini tanpa menghiraukan apakah distribusi skor terletak dalam kurva
juling positif atau juling negatif, tetapi dalam norm-referenced selalu tergambar dalam kurva normal. Hal ini
didasarkan atas asumsi bahwa apabila distribusi skor tergambar dalam kurva
juling positif, yang kurang sempurna adalah soal-soal tesnya, yaitu terlalu
sukar. Dengan demikian nilai siswa lalu direntangkan sedemikian rupa sehingga
tersebar dari nilai tinggi ke nilai rendah, dengan sebagian terbesar terletak
pada nilai sedang. Demikian pula sebaliknya apabila skor siswa tergambar dalam
kurva juling negatif. Dalam ubahan menjadi nilai, disebar sedemikian rupa
sehingga menjadi kurva normal, dengan nilai sedang adalah nilai yang paling
banyak.
E.
Standar
Nilai
Dari distribusi
nilai, kita dapat membicarakan masalah standar nilai.
Pendapat Gronlund dalam distribusi nilai
ini demikian: skor-skor siswa direntangkan menjadi 9 nilai disebut juga
standard Nines atau Staines) seperti berikut ini. (Sumber: Gronlund, Norman E:
“Improving Marking and Reporting in
Classroom Instruction Series”, Macmillan Publishing Co, Inc, New York,
1974, p. 46)
STANINE
|
Interprestasi
|
9 (4%)
|
Tinggi (4%)
|
8 (7%)
7 (12%)
|
Di atas rata-rata
(19%)
|
6 (17%)
5 (20%)
4 (17%)
|
Rata-rata (54%)
|
3 (12%)
2 (7%)
|
Di bawah rata-rata
(19%)
|
1 (4%)
|
Rendah (4%)
|
Dengan adanya
presentase yang ditentukan inilah maka semua situasi skor siswa dapat
direntangkan menjadi nilai 1 – 9 di atas. Misalnya kita memiliki skor-skor
seperti disebutkan dalam hasil ulangan IPS kelas V yang telah disampaikan di
halaman lain, dengan mudah dapat kita tentukan 4% dari siswa yang mendapat
nilai 9, selanjutnya 7% mendapat nilai 8, 12% mendapat nilai 7, 17% mendapat
nilai 6 dan seterusnya.
Selain dengan
standar sembilan (stanines), ada pula yang menggunakan standar enam. Dalam hal
ini, hanya berkisar antara 4 sampai 9, yaitu nilai-nilai 4, 5, 6, 7, 8 dan 9.
Persentase penyebaran nilai dengan
standar enam adalah seperti berikut:
STANDAR ENAM
|
Interprestasi
|
9 (5%)
8 (10%)
7 (20%)
6 (40%)
5 (20%)
4 (5%)
|
Baik sekali
Baik
Lebih dari cukup
Cukup
Kurang
Kurang sekali
|
Dari Proyek Perintis
Sekolah Pembangunan (PPSP) juga pernah digunakan standar enam dalam penilaian.
Angka yang digunakan sama, yaitu rentangan 4 – 9, akan tetapi persentase yang
diambil untuk tiap-tiap nilai tidak sama. Hal ini disebabkan karena di PPSP digunakan
prinsip belajar tuntas sehingga dengan berbagai metode, para siswa diharapkan
dapat menguasai bahan sekurang-kurangnya 75% atau dengan perkataan lain setiap
siswa diharapkan dapat mencapai sekurang-kurangnya 75% tujuan instruksional
khusus ditentukan.
Penyebaran nilai
dengan standar enam yang dimaksud adalah sebagai berikut: (Tim Penilai Nasional
PPSP, Pedoman Tentang EBTA, Pengisian Rapor dan Penggugusan, Seri 2C, BP3K,
Jakarta, 1978, hal. 11).
10% siswa yang mendapat nilai tertinggi
diberi nilai 9.
20% di bawahnya diberi 8.
40% di bawahnya diberi 7.
20% di bawahnya diberi 6.
5% di bawahnya diberi 5.
5% di bawahnya diberi 4.
Dalam hal yang
sangat khusus di mana siswa yang dianggap sangat cerdas ataupun sangat kurang,
dapat diberikan nilai 10 atau 3.
Catatan:
Untuk menetukan
persentase siswa yang mendapat nilai, diambil dari nilai gabungan antara nilai
tes formatif dan sumatif. Penyimpangan yang mungkin terjadi adalah apabila
nilai-nilai yang diperoleh mengelompok di atas atau di bawah. Sehubungan dengan
ini dikeluarkan dua ketentuan.
(2) Jika nilai gabungan formatif dan sumatif hanya berkisar antara 60 –
100, maka daerah nilai dari 4 s.d. 9 diubah menjadi 6, 5, s.d. 9, dengan urutan
sebagai berikut 6,5; 7; 7,5; 8; 8,5; 9.
(3) Jika nilai gabungan formatif dan sumatif hanya 59 ke bawah, maka
daerah nilai dari 4 s.d. 9 di atas diubah menjadi 4 s.d. 6,5 dengan urutan
sebagai berikut: 4; 4,5; 5; 5,5; 6; 6,5.
a. Standar eleven (Stanel)
Ada lagi standar
nilai yang lain, yaitu selanjutnya dikembangkan oleh Fakultas Ilmu Pendidikan
UGM disesuaikan dengan sistem penilaian di Indonesia (Sunber: Sutrisno Hadi,
MA, Prof, Drs.: Metodologi Research, Jilid 3 Yayasan Penerbitan Fakultas
Psikologi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 1979, hal. 270).
Dengan Stanel ini, sistem penilaian membagi skala menjadi 11
golongan, yaitu angka-angka, 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, yang satu sama
lain berjarak sama. Tiap-tiap angka menempati interval sebesar 0,55 SD,
bertitik tolak dari mean = 5 yang menempati jarak antara -0,275 SD sampai +0,275
SD. Seluruh jarak yang digunakan adalah dari -0,3025 SD sampai +0,3025 SD.
Dasar pikiran untuk Stanel ini adalah bahwa jarak praktis dalam
kurva normal adalah 6 SD yang terbagi atas 11 skala.
11 Skala = 6 SD
1 Skala =
b. Standar sepuluh
Di dalam Buku
Pedoman Penilaian (Buku IIIB Seri Kurikulum SMU Tahun 1975) ditentukan bahwa
untuk mengolah hasil tes, digunakan standar relatif, dengan nilai berskala 1 –
10. Untuk mengubah skormenjadi nilai, diperlakukan dahulu :
a.) Mean (rata-rata skor)
b.) Standar Deviasi (simpangan baku)
c.) Tabel konversi ke dalam nilai berskala 1 – 10
Tahap-tahap yang dilalui dalam mengubah
skor mentah menjadi nilai berskala 1 – 10 adalah sebagai berikut :
(1) Menyusun distribusi frekuensi dari angka-angka atau skor-skor
mentah.
(2) Menghitung rata-rata (mean).
(3) Menghitung Standar Deviasi.
(4) Mentransformasi (mengubah) angka-angka mentah ke dalam nilai
berskala 1–10.
c. Standar lima
Kembali kepada
Gronlund selain ia mengemukakan penyebaran nilai dengan angka, juga
mengemukakan penyebaran nilai dengan huruf yang digambarkan dengan kurva
normal. Selanjutnya dikatakan oleh Gronlund: Rentangan persentase ini hanya
berlaku bagi populasi yang sangat heterogen.
PERINGKAS
RAHMAT
WAHYUDI I.
NIM. 105773
Daftar Pustaka
1. Suke Silverius, Evaluasi Hasil
Belajar dan Umpan Balik, PT Gramedia Widiarsarana Indonesia, Jakarta, 1991.
2. Dr. Suharsimi Arikunto, Dasar-dasar
Evaluasi Pendidikan, Bumi Aksara, Jakarta, 1995.
3. Dr. Ahmad Tafsir, Metodologi
Pengajaran Agama Islam, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1995.
4. Dr. Nana Sudjana dan Dr. Ibrahim MA, Penelitian dan Penilaian Pendidikan, Sinar Baru, Bandung, 1989.
5. Dr. Suharsimi Arikunto, Penilaian
Program Pendidikan, Bina Aksara, Jakarta, 1988.
6. M. Buchori M.Ed, Teknik-teknik
Evaluasi dalam Pendidikan, Jemmars, Bandung, 1983.
7. Gronlund, N.E., Measurement
& Evaluation in Teaching, Macmillan Publishing Co., Inc, New York,
1976.
8. Hopkins, H.D., Stanley J.C., Educational
and Psychological Measurement and Evaluation, Practice Hall, Inc, New York,
1981.
9. Lien, A.J., Measurement and
Evaluation of Learning, MW.C. Brown Co, Iowa, 1971.